BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
ajaran Islam, puasa mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai
ibadah wajib yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung
banyak hikmah yang berkaitan dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang
mampu menghitung secara pasti berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah;
dari sini, Allah berkenan menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri,
bukan yang lain; Allah berfirman (dalam hadits qudsi): Semua perbuatan
manusia itu untuknya sendiri, kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalas cukup ibadah puasanya itu. Dalam
hadits shahih Bukhari dan Muslim: barangsiapa berpuasa satu hari di jalan
Allah, maka Allah akan memisahkan dirinya dari neraka sejauh 70 kharif (70
tahun jarak perjalanan)[1]
Selain
Ramadhan, bulan-bulan yang paling afdhal untuk melakukan puasa adalah bulan
Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab; dan yang paling afdhal
daripadanya adalah bulan Muharram, kemudian Rajab, kemudian Dzul Hijjah,
kemudian Dzul Qa’dah dan barulah Sya’ban[2]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
Pengertian Puasa Sunnah ?
2.
Apa Pahala Dan Keutamaan Berpuasa ?
3.
Apasaja
Macam-Macam Puasa Sunnah ?
4.
Bagaimana
Ketentuan Melakukan Puasa Sunnah ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian, pahala dan keutamaan serta macam-macam puasa sunnah
2.
Mengetahui
ketentuan melakukan puasa sunnah
D.
Manfaat
Penulisan
Agar dapat mengetahui ada berapa
macam puasa sunnah dan keistimewaannya serta dapat mengetahui ketentuan dalam
melakukan puasa sunnah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Puasa Sunnah
Puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan
wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang
menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat
amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى
يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran
yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk
memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya”
B. Pahala dan Keutamaan Berpuasa
Puasa merupakan salah satu amalan yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala yang mana Allah menjanjikan keutamaan dan manfaat yang besar bagi yang
mengamalkannya,
قَالَ اللهُ عَزَّ
وَجَلّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إلا الصِيَامَ. فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ. فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلا
يَرْفُثْ وَلا يَصْخَبْ وَلا يَجْهَلْ. فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ،
فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ – وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ. لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ
مِنْ رِيْحِ المِسْك. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ
فَرِحَ بِفِطْرِهِ. وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Setiap amal anak Adam adalah untuknya
kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya,
puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang dari kalian berpuasa maka
janganlah ia berkata-kata keji, dan janganlah berteriak-teriak, dan janganlah
berperilaku dengan perilakunya orang-orang jahil, apabila seseorang mencelanya
atau menzaliminya maka hendaknya ia mengatakan: Sesungguhnya saya sedang
berpuasa (dua kali), demi Yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh bau
mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah pada hari kiamat dari wangi
kesturi, dan bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan yang ia berbahagia
dengan keduanya, yakni ketika ia berbuka ia berbahagia dengan buka puasanya dan
ketika berjumpa dengan Rabbnya ia berbahagia dengan puasanya.” (HR
Bukhari, Muslim dan yang lainnya)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لا يَصُوْمُ عَبْدٌ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله. إلا بَاعَدَ اللهُ، بِذَلِكَ
اليَوْمِ، وَجْهَهُ عَنِ النَارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً
“Tidaklah seorang hamba
berpuasa satu hari di jalan Allah kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari
api neraka (dengan puasa itu) sejauh 70 tahun jarak perjalanan.” (HR.
Bukhari Muslim dan yang lainnya).
Sebagaimana jenis
ibadah lainnya maka puasa haruslah didasari niat yang benar yakni beribadah
kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata-mata serta dilaksanakan sesuai dengan
tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Secara Syar’i makna puasa
adalah “menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta segala sesuatu yang
membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan niat
beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala” , Maka jika seseorang menahan
diri dari makan dan minum tidak sebagaimana pengertian di atas atau menyelisihi
dari apa yang menjadi tuntunan Rasulullah saw. maka tentu saja ini merupakan
hal yang menyimpang dari syariat, termasuk perbuatan yang sia-sia dan bahkan
bisa jadi mendatangkan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala,
Penyimpangan yang bisa terjadi dalam berpuasa diantaranya:
Penyimpangan yang bisa terjadi dalam berpuasa diantaranya:
1. Berpuasa tidak dalam rangka beribadah kepada Allah.
Semisal seseorang yang
berpuasa karena hendak mendapatkan bantuan dari jin/syaitan berupa sihir atau
yang lainnya, atau bernadzar puasa kepada selain Allah, maka perbuatan
ini termasuk kesyirikan yang besar karena memalingkan ibadah kepada selain
Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun seseorang yang berpuasa semata-mata karena
alasan kesehatan, walaupun hal ini boleh-boleh saja akan tetapi ia keluar dari
pengertian puasa yang syar’i sehingga tidaklah ia termasuk orang yang
mendapatkan keutamaan puasa sebagaimana yang dijanjikan Allah subhanahu wa
ta’ala.
2. Menyelisihi tata cara Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, diantaranya:
Mengkhususkan tata cara
tertentu yang tidak dituntunkan oleh Nabi saw., semisal puasa mutih (menyengaja
menghindari makan daging atau yang lainnya), puasa sehari semalam tanpa tidur
atau tanpa berbicara dengan menganggap hal ini memiliki keutamaan dan yang
lainnya.
Mengkhususkan waktu
tertentu yang tidak dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semisal
mengkhususkan puasa pada hari atau bulan tertentu tanpa dalil dari
al-Qur’an dan sunnah, ataupun mengkhususkan jumlah hari yang tidak dikhususkan
dalam syariat.
Maka seyogyanya kaum
muslimin menahan diri dari beribadah tanda dasar ilmu atau tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang
melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR.
Muslim).
Maka berikut ini adalah
beberapa jenis puasa yang dianjurkan di dalam Islam di luar puasa yang wajib
(Puasa Ramadhan) berdasarkan dalil-dalil yang syar’i, semoga kita diberi
kemudahan untuk mengamalkannya berdasarkan ilmu dan terhindar dari
perkara-perkara yang menyelisihi syariat Allah subhanahu wa ta’ala sehingga kita
dapat memperoleh berbagai keutamaan dari apa-apa yang dijanjikan Allah
subhanahu wa ta’ala.
C.
Macam-macam
Puasa Sunnah
Disamping puasa
wajib di bulan Ramadhan, disyariatkan beberapa macam puasa sunat diluar
Ramadhan, yaitu:
a.
Puasa
enam hari bulan Syawal
Puasa ini disyariatkan berdasarkan hadits Nabi SAW berikut:
عن
أبي أيوب قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من صام رمضان ثم اتبعه ستا من شوال كان
كصيام الدهرز (رواه مسلم)
Dari Abi Ayyub r.a., Rasulullah SAW
bersabda:”bang siapa puasa pada bulan Ramadhan kemudian ia puasa pula enam hari
pada bulan Syawal adalah seperti puasa sepanjang masa.” (HR. Muslim)
Para ahli memahami hadits tersebut dengan
mengaitkannya kepada hadits yang menerangkan bahwa satu kebaikan dibalas dengan
sepuluh kebaikan. Jadi satu bulan (30 hari) berpuasa pada bulan Ramadhan sama
nilainya dengan sepuluh bulan (300 hari) berpuasa di luar Ramadhan, dan enam
hari berpuasa pada bulan Syawal sama nilainya dengan dua bulan (60 hari).
Dengan demikian jadilah puasanya seperti 12 bulan (1 tahun)
b. Puasa hari senin dan hari kamis,
sebagaimana dianjurkan Nabi SAW melalui sabdanya:
عن
عا ئشة رضي الله عنها كان النبي صلى الله عليه وسلم يتحر صيام الإثنين والخمس
(زواه ابو داود)
dari Aisyah r.a., bahwa Nabi SAW memilih waktu puasa pada hari
senin dan hari kamis. (HR. Abu Daud).
Pada hadits lain, hadits shahih yang menerangkan bahwa Nabi saw.
mementingkan untuk melakukannya, sabdanya: Amal-amal perbuatan dilaporkan
pada hari senin dan kamis, maka aku senang bila amalku dilaporkan dalam keadaan
aku sedang berpuasa; maksudnya dilaporkan kepada Allah.[3]
Adapun dibawanya amal-amal tersebut oleh Malaikat, adalah satu
kali malam dan satu kali siang hari; dan
tentang dibawanya pada bulan sya’ban adalah dibelokkan pada pengertian,
dibawanya amal satu tahun secara keseluruhan. Puasa hari senin lebih Afdhal
dari pada kamis, karena adanya kekhususan-kekhususan yang banyak dikemukakan
oleh para Ulama[4]
c.
Puasa
pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) bagi yang tidak sedang haji, sedangkan bagi
orang yang haji puasa itu tidak disunatkan, sebagaimana diterangkan dalam
hadits berikut:
عن
ابى قتادة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه من
النار من يوم غرفة ( زواه مسلم )
Dari Abi Qatadah, Nabi SAW bersabda: tiadalah dari hari yang paling
banyak Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka selain hari ‘Arafah (HR. Muslim).
Hukum puasa ini sunnah muakad. Dosa yang dilebur adalah dosa-dosa
kecil yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak-hak Adam, sebab dosa besar bisa
dilebur hanya dengan bertaubat yang sah, sedangkan hak Adam terserah pada
kerelaan yang bersangkutan sendiri. Jikalau tak punya dosa kecil maka
kebajikan-kebajikannya akan ditambah.[5]
d.
Puasa
tiga hari setiap bulan (hari Bidl), yaitu pada hari 13, 14 dan 15. Tapi bila
dilaksanakan pada selain hari-hari tersebut dipandang sah. Nabi SAW bersabda:
عن
ابي ذر قال رسول لله صلى الله عليه وسلم يا أبا ذر إذا صمت من الشهر ثلاثة فثم
ثلاثة عشرة وأربع عشرة وخمس عشرة (رواه أحمد والنسائى)
Dari Abi Zarr, Nabi SAW. Bersabda: “Hai Abu Zarr, apabila engkau
hendak puasa tiga hari dalam sebulan, hendaklah engkau puasa pada hari ke 13,
14, dan 15.” (HR. Ahmad dan
Nasa’i)
e.
Puasa
hari ke-9 pada bulan Muharram (puasa Tasu’a), sebagaimana dijelaskan pada
hadits:
عن ابن عباس رضي الله عنه لو بقيت على
قابل لأصومنّ التسع والعاشر (زواه مسلم)
Dari Ibn Abbas, berkata:” Jika aku masih hidup sampai masa (bulan)
depan, aku akan melaksanakan puasa pada hari yang ke-9 dan 10 (Muharram).”(HR. Muslim)
Dari keterangan ini, bagi orang yang tidak bepuasa tasu’a
disunnahkan berpuasa pada tanggal 11-nya, bahkan telah berpuasa tanggal 9
sekalipun; tersebut didalam Al-Umm : tidaklah mengapa, bila berpuasa pada
tanggal 10 nya juga.[6]
f.
Puasa
pada hari ‘Asyura (10 Muharram), sesuai dengan hadits Nabi berikut:
عن
قتادة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوم يوم عشوراء يكفر سئة ماضية (رواه
مسلم)
Dari Abi Qatadah, Rasulullah bersabda:”Puasa hari ‘Asyura itu
menhapuskan dosa satu tahun yang telah lalu.” (HR. Muslim)
Hukum puasa ini sunnah muakad. Diterangkan dalam haadits Muslim
bisa melebur dosa selama 1 tahun yang telah lewat. Adapun hadits-hadits tentang
bercelak mata, mandi, dan memakai harum-haruman di hari ‘Asyura adalah palsuan
para pemalsu hadits[7]
g.
Puasa
bulan Sya’ban. Dalam hal ini Nabi Bersabda:
عن
عائشة رضي الله عنها قالت لم يكن النبي صلى الله عليه وسلم يصوم أكثر من الشعبان
(رواه الخمسة)
Dari Aisyah berkata:”Nabi tidak berpuasa lebih banyak selain dari
pada bulan Sya’ban.” (HR.
Al-Khamsah)
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa.
Bahkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa
ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan
Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ
يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ،
وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami
katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan
bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh
selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang
lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan
Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ
شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan
yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim
no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no.
1156)
Dari Ummu Salamah,
beliau mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ
يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan
penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan
Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?
Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan
dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di
situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh
At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa
Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan
berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi,
yang dimaksud Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh
hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa
penuh di bulan Sya’ban?
An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak
berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah
rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat
rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat
wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di
bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki
keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat
Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di Balik Puasa Sya’ban
1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah
terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga
menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah
keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang
berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti
ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.
Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih
sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya
orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap
bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga
beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di
bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka
beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna
sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum
memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa
Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa
wajib di bulan Ramadhan.
(Lihat Lathoif
Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu
wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk
memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita
termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi
berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى
يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa
hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya
yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya
dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR.
Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab)
akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada
pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang
seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari
Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad
h.
Puasa
berselang hari, yaitu puasa satu hari berbuka satu hari (Puasa Daud),
sebagaimana hadits Nabi SAW:
عن
عبد الله بن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أفضل الصيام صوم داود كان يصوم
يوما ويفطر يوما (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Umar r.a., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Puasa
yang lebih adalah puasa Nabi Daud, yaitu puasa satu hari dan buka puasa satu.” (HR. Muttafaaq ‘alaih)
i.
Puasa
delapan hari bulan Dzulhijjah sebelum hari ‘Arafah (puasa Tarwiyah). Hukum
puasa ini sunnah muakad. Puasa ini dianjurkan baik kepada orang yang sedang
haji maupun yang bukan melaksanakan haji, karena dalam sebuah riwayat yang
diterima dan hafshah diterangkan bahwa amal yang dilaksanakan 10 hari awal
Dzulhijjah mempunyai keutamaan, termasuk kedalamnya amal ibadah puasa. (HR. Abu
Daud dan Nasa’i)
j.
Puasa
pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum), yaiitu bulan Dzulqadah,
Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال أفضل الصلاة بعد المكتوبة
جوف الليل وأفضل الصيام بعد زمضان شهز الله المحترم (رواه مسلم)
Dari Abi Hurairah ra., sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Shalat yang
paling baik setelah shalat yang diwajibkan adalah shalat ttengah malam dan
puasa yang lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan
terhormat.” (HR. Muslim)
Menurut ahli fiqh Hanafiyah puasa yang dianjurkan itu ialah tiga
setiap bulan tersebut, yaitu hari Kamis, Jum’at dan Sabtu
Barangsiapa mengalami Talabbus (terkacaukan) dengan puasa
sunnah atau shalat sunnah, maka diperbolehkan memotong di tengah jalan (tidak
diteruskan sampai akhir); tidak boleh bila itu haji sunnah. Barangsiapa
Talabbus dengan melakukan qadla wajib, maka tidak boleh memotong di tengah
jalan
Haram melakukan puasa pada hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 bulan Dzul
Hijjah), Idul Fitri, idul Adha, dan juga hari Syak bagi selain yang telah
membiasakan puasa pada hari-hari tertentu misalnya senin kamis, hari syak yaitu
tanggal 30 Sya’ban
D. Ketentuan
Melakukan Puasa Sunnah
Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit
fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan
sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia
berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan
bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau
berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah
berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun
berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”
(HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim,
“Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum
waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa
sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa
sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan
bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin
meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy
Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.
Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah
sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.”
(HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami
bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi
istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Puasa
mempunyai kedudukan yang tinggi, karena disamping sebagai ibadah wajib yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga mengandung banyak hikmah yang berkaitan
dengan rohani dan jasmani. Hanyalah Allah yang mampu menghitung secara pasti
berapa banyak fadlilah dan pahala puasa sunnah; dari sini, Allah berkenan
menyandarkan ibadah puasa untuk diri-Nya sendiri, bukan yang lain. Puasa sunnah
ada 11, yaitu:
1.
Puasa
enam hari bulan Syawal
2.
Puasa hari senin dan hari kamis
3.
Puasa
pada hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah)
4.
Puasa
tiga hari setiap bulan (hari Bidl)
5.
Puasa
hari ke-9 pada bulan Muharram (puasa Tasu’a)
|
6.
Puasa
pada hari ‘Asyura (10 Muharram)
7.
Puasa
bulan Sya’ban
8.
Puasa
berselang hari, yaitu puasa satu hari berbuka satu hari (puasa Daud)
9.
Puasa
delapan hari bulan Dzulhijjah sebelum hari ‘Arafah (puasa Tarwiyah)
10.
Puasa
pada bulan-bulan yang terhormat (al-asyhar al-hurum)
|
B.
Saran
Kita
sebagai seorang mukmin selain menunaikan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan,
kita seharusnya melaksanakan puasa-puasa sunnah sama seperti yany dikerjakan
oleh Rosulullah, karena dalam puasa-puasa sunnah tersebut terdapat banyak
sekali faidah-faidah/keutamaan-keutamaan jika kita dapat melaksanakannya. Maka
dari itu kita selaku orang mukmin hendaknya berusaha untuk melaksanakan
puasa-puasa sunnah tersebut
Semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya dan orang yang mendengarkannya.
Tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan,
maka dari itu kamu akan menerima kritikan-kritikan atau saran-saran para
pembaca maupun pendengar demi kesempurnaan makalah kami ini.
DAFTAR PUSTAKA
As’ad, Alliy, Tarjamah Fathul
Mu’in jilid 2, Yogyakarta: Menara Kudus, 1979,
http://muslim.or.id/bahasan-utama-2/anjuran-puasa-syaban.html
http://www.jadipintar.com/2014/03/Pengertian-Puasa-Sunnah-Macam-dan-Ketentuannya.html
subhanallah
ReplyDelete