BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam mengklasifikasikan hadîts,
ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan jumlah
macam-macam hadîts. Ibn Taimiyah mengungkapkan, “secara umum,
berdasarkan keadaan Perawi dan keadaan matan hadits
sangat banyak macamnya. Menurut Imam Al-Nawâwiy pembagian hadîts
mencapai 65 macam, menurut Al-Suyûtiy pembagian hadîts mencapai 82
macam, menurut Ibn Katsîr sebanyak 65 macam dan Abu Fadhl al-Jizâwiy di dalam
kitab Al-Turas- membaginya menjadi 63 macam.
Hal ini terjadi karena mereka melihat klasifikasinya
secara umum, dengan tidak melihat dan menggunakan tipologi yang jelas. Untuk
memudahkan pemahaman dan pengenalan hadîts nabi beserta
istilah-istilah yang terkait dengannya, maka pemakalah akan menjabarkannya di
dalam makalah singkat yang berjudul “Klasifiksi Hadîts Ditinjau
Dari Berbagai Aspek”. Pembahasannya meliputi: Pembagian hadîts
berdasarkan bentuk asal, pembagian hadîts berdasarkan sifat asal, pembagian hadîts
berdasarkan Jumlah periwayat, pembagianhadîts berdasarkan kwalitas serta
pembagian hadîts berdasarkan penisbatan.
BAB II
PEMBAHASAN
v
Klasifikasi Hadîts
Nabi Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Untuk
mengklasifikasikan Hadîts Nabi Muhammad SAW, dapat dilihat
dari berbagai segi, di antaranya adalah:
A. Berdasarkan Bentuk Asal
Khusus mengenai
klasifikasi hadîts ditinjau dari aspek ini, tidak banyak buku yang
merincinya. Penulis berasumsi bahwa pembagian ini ditarik langsung dari
defenisi hadîts yang diberikan oleh ulama hadîts.
Sebagaimana yang masyhûr, ulamahadîts mendefenisikan hadîts
dengan
ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او
تقرير او صفة
“Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
sifatnya”[[1]]
Adapun pembagian hadîts ditinjau bentuk
asal –sesuai dengan defenisi hadîts di atas- adalah:
1. Hadîts Qawlîy
Hadîts Qawlîy adalah hadîts-hadîts
yang beliau ucapkan berkenaan dengan berbagai tujuan pada berbagai kesempatan.[[2]] Adapun
contoh darihadîts ini adalah:
حدثنا آدم بن أبي أياس
قال حدثنا شعبة عن عبد الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو
رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه
ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه[[3]]
Artinya:“Telah meriwayatkan kepada kami Adam ibn
abiy Iyâs dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Syu’bah dari Abd Allâh
ibn Abi Safar dan Ismâ’îl dari al-Sya’bîy dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amru dari Nabi
SAW, Beliau bersabda:”orang Muslim adalah orang yang selamat muslim yang lain
dari lidah dan tangannnya, Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang
menjauhi apa yang dilarang Allâh terhadapnya”
2. Hadîts Fi’lîy
Hadîts fi’lîy adalah
Perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita oleh para
sahabat.[[4]] Adapun
contoh dari hadîts ini adalah:
عن محمد بن المنكدر قال : رأيت جابر بن عبد الله يصلي في ثوب واحد وقال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم
يصلي في ثوب
Artinya: “Hadîts dari Muhammad ibn Munkadir,
beliau berkata: Saya melihat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Shalat dengan sehelai kain, dan ia berkata:”Saya
melihat Rasul Allâh shalat dengan memakai sehelai kain”
Hadîts fi’lîy dibagi
menjadi dua yaitu: Hadîts fi’lîy yang diiringi dengan
perkataan Nabi, dan yang tidak diiringi dengan perkataan Nabi.[[5]]
Contoh yang diiringi dengan perkataan
Nabi/Hadîts Qaulîy adalah hadîts tata cara shalat
nabi yang diiringi dengan hadîts Hadîts Qaulîy berikut
Artinya: “Shalatlah
kamu seperti bagai mana kamu melihatku melaksanakan shalat”
Hadits ini merupakan Hadits utama yang dikutip
Nasiruddin Al-Baniy ketika memulai tulisannya di dalam kitab Sifat Shalat Nabi,
Khusus mengenai Hadîts fi’lîy yang
tidak diiringi dengan perkataan nabi ini terdapat beberapa pembahasan penting
yang menjadi sorotan para ulama terutama ulama Ushul. Mereka mempertanyakan
muatan hukum yang terdapat di dalamnya, apakah wajib diikuti atau tidak.
Setidaknya mengenai hal ini ulama Ushul membaginya kepada tiga bentuk, yaitu:
1) ( افعال الجبلية ) Perbuatan yang muncul dari Rasul Allâh sebagai
manusia biasa, seperti makan, minum, tidur dan berdiri. termasuk juga di dalam
hal ini pengalaman hidup beliau di dalam urusan dunia seperti perdagangan,
pertanian dan peperangan serta pengobatan.
2) (افعال التي ثبت كونها مخصص لنبي ) Perbuatan Rasul yang telah ditetapkan sebagai
perbuatan yang khusus untuk dirinya, seperti tahajud yang ia lakukan setiap
malam, tidak menerima sedekah serta memiliki istri lebih dari empat.
3) Perbuatan yang berkaitan dengan hukum, dan ada
alasannya yang jelas. Atau perbuatan nabi yang tidak ada diikuti oleh
indikasi-indikasi sebagaimana pada poin satu dan dua[[7]]
Tentang
macam yang pertama dan kedua menurut ulama ushul tidak mengandung muatan hukum,
sedangkan yang terakhir menjadi syariat bagi umat Islam.
3. Taqrîrîy
Hadîts Taqrîrîy adalah
Segala sesuatu yang muncul dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya
oleh Rasul Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dengan cara diam tanpa
pengingkaran atau persetujuan dan keterus terangan beliau menganggapnya baik
bahkan menguatkannya.[[8]] Seperti
Nabi membiarkan atau mendiamkan apa yang dilakukan oleh sahabat-Nya tanpa
memberi penegasan atau pelarangan. Sikap Nabi seperti ini dijadikan hujjahatau
mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian hukum. Adapun contoh
dari hadîts ini adalah: sikap Beliau terhadap ijtihâd sahabat
berkenaan dengan shalat Ashr sewaktu perang melawan Bani Quraidzah. Yakni
ketika beliau bersabda:
Janganlah sekali-kali
salah seorang di antara kalian shalat Ashr, kecuali di kampung Bani Quraidzah.
Sebagian Sahabat memang tidak
melakukan shalat kecuali setelah sampai di Kampung Bani Quraidzah, sehingga
mereka mentakhirkan hingga waktu Maghrib. Sedangkan yang lain justru tetap
shalat di perjalanan, karena mereka memahami hadîts tersebut dengan
makna perintah Rasul Allah untuk mempercepat perjalanan agar sampai di Bani Quraidzah
sebelum waktu Maghrib. Berita kedua kelompok sahabat ini sampai kepada Nabi,
tetapi Nabi mengakui keduanya, tanpa mengingkari salah satunya.
4. Hadîts Shifatîy
Hadîts Shifatîy adalah hadîts
yang berupa sifat atau kepribadian Nabi serta keadaan fisiknya.[[10]] Hadîts
Shifatîy biasa disebut juga dengan Hadîts Ahwâliy.
Jadi Hadîts Shifatîy ini dapat dibagi menjadi dua,
yaitu yang terkait dengan kepribadian Nabi dan bentuk fisik Nabi. Contoh hadîts
tentang sifat/kepribadian Nabi
Artinya: ”Anas ibn Mâlik meriwayatkan kepada
kami, beliau berkata: Rasul Allah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya”
Contoh hadîts
tentang sifat fisik nabi di antaranya adalah:
حدثني أبي عن بديل عن شهر بن حوشب
عن أسماء قالت : كان يد قميص النبي صلى الله عليه وسلم إلى أسفل من الرصغ
Artinya: Telah meriwayatkan kepadaku bapakku,
dari Bâdil dari Syahr ibn Husab dari Asma’, beliau berkata:”Lengan
baju nabi adalah sampai ke pergelangan tangannya.”
B. Berdasarkan Sifat Asal/ Makna Yang Di Kandungnya
1. Hadîts Qudsîy
1) Pengertian Hadîts Qudsîy
Secara bahasa al-Hadîts al-Qudsîy berasal
dari dua kata yaitu al-Hadîts dan al-Qudsîy. Al-Qudsîy merupakan nisbah dari
kata القدس (al-qudsu)
bermakna الطهر (al-thuhru). الطاهر المنزه عن العيوب والنقايص (Zat yang Maha
Suci yang jauh dari ‘aib dan kekurangan). Jadi secara bahasa dapat
diartikan Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang
disandarkan/dinisbahkan kepada Zat Yang Maha Suci /Allah.[[12]]
Menurut lughat lafadz qudsi artinya suci. Berarti
hadits qudsi artinya hadits yang suci[[13]]
Sedangkan secara istilah Hadîts Qudsîy adalah hadîts
yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad SAW yang sanadnya disandarkan
kepada Allah SWT. Defenisi ini penulis tarik dari beberapa defenisi yang ada di
dalam beberapa kitab Ilmu Hadîts, seperti defenisi-defenisi berikut
ini:
Ø
Defenisi
yang ditulis Oleh Nuruddîn Itr adalah
“Dia (Hadîts Qudsîy) adalah Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya atau penisbatannya kepada Allah
‘Azza wa Jalla”
Ø
Defenisi
yang ditulis Oleh Mahmûd Thahân adalah
“Apa-apa yang disampaikan kepada kita dari Nabi SAW,
yang sanadnya disandarkan kepada Tuhan-nya (Allah ‘Azza wa Jalla) ”
Ø
Menurut
istilah Muhadditsin hadits qudsi ialah sesuatu yang dikhabarkan oleh Allah
Ta’ala kepada NabiNya dengan jalan ilham ataupun impian, kemudian nabi
menyampaikan makna atau impian itu dengan ungkapan kata beliau sendiri[[16]]
2) Perbedaan Antara Hadîts Qudsîy dengan
Al-Qur’ân
Terkait dengan perbedaan antara Hadîts
Qudsîy dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di antara
yang paling jelas adalah antara pendapat Abu al-Baqâ’ al-‘Ukbûrîy dan
Thayyibîy, sebagaimana yang dikutip oleh Nuruddîn Itr di dalam kitabnya. Beliau
mengungkapkan sebagai berikut:[[17]]
Abu al-Baqâ’ berkata : Sesungguhnya lafaz
dan makna al-Qur’ân berasal dari Allah melalui pewahyuan secara
terang-terangan, sedangkan Hadîts Qudsîy itu redaksinya dari
Rasul Allah dan maknanya berasal dari Allah melalui pengilhaman atau mimpi.
Al-Thayyibîy berkata: Al-Qur’ân diturunkan melalui
perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadîts
Qudsîy itu maknanya berisi pemberitaan Allah melalui ilham atau mimpi,
lalu nabi Muhammad memberitakan kepada umatnya dengan bahasa sendiri.
Al-Qur’ân memiliki keistimewaan yang tidak terdapat di
dalam Hadîts Qudsîy, di antaranya adalah:
a. Al-Qur’ân itu lafaz dan maknanya
dari Allah, sedangkan Hadîts Qudsîy maknanya dari
Allah dan redaksinya dari Nabi.
b. Membaca Al-Qur’ân termasuk ibadah dan mendapat pahala,
sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
c. Semua lafaz Al-Qur’ân adalah mutawâtir,
terjaga dari perubahan dan pergantian karena ia mukjizat, sedangkan Hadîts
Qudsîy tidak demikian.
d. Membaca Al-Qur’ân disunatkan di dalam shalat
sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
e. Ada larangan menyentuh mushaf Al-Qur’ân bagi orang
yang ber-hadas, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
2. Hadîts Nabawîy
Hadîts Nabawîy adalah
Apa yang dinisbahkan kepada Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau.[[18]] Jadi Hadîts
Nabawîy adalah segala Hadîts Nabi yang dipahami secara
umum yang bukan Hadîts Qudsîy. Maka ketika kita telah dapat
mengetahui sesuatu hadîts adalah bukan Hadîts Qudsîy,
secara otomatis yang demikian adalah Hadîts Nabawiy.
C. Berdasarkan Jumlah Periwayat
1. Hadîts Mutawâtir
a. Defenisi Hadîts Mutawâtir
Secara
Bahasa Mutawâtir merupakan ism fa’il musytaq dari التواتر berarti التتابع(berturut-turut/lebat).[[19]]
Sedangkan
secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di
antaranya: Menurut Nuruddîn Itr Hadîts
Mutawâtir adalah:
“Hadîts mutawâtir
adalah hadîts yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang diyakini tidak
akan sepakat berbuat dusta dari perawi yang semisalnya, dari awal sanad hingga
akhirnya. Yang periwayatannya disandarkan kepada pengamatan indrawi”
Sedangkan ‘Ajjaj al-Khâtib mendefenisikan Hadîts
Mutawâtir seperti berikut ini:
ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه
على ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقة السند [[21]]
“Hadîts
yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka
sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai
akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada tiap tingkatan sanadnya ”
Dari defenisi-defenisi di atas
dapat ditarik beberapa syarat sebuah hadîts dikatakan Mutawâtir yaitu:
1) Hadîts tersebut pada setiap tingkatan sanadnya
diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari awal hingga akhir.
2) Kondisi mereka tidak mungkin akan berdusta, seperti
semua mereka bukan orang satu keluarga.
3) Hendaklah keyakinan mereka didasarkan kepada sesuatu
yang dapat diterima panca indra, atau hadîts tersebut menyangkut
dengan nabi yang bisa ditangkap secara indrawi. Seperti sikap dan perbuatan
Nabi yang dapat dilihat atau perkataan beliau yang dapat didengar.
4) Hendak perawi yang meriwayatkan hadîts
tersebut meyakini keabsahanhadîts tersebut (bukan berasal dari dugaan)[[22]]
b. Pembagian Hadîts Mutawâtir
Ulama Hadîts
membagi Hadîts Mutawâtir menjadi tiga yaitu Hadîts
Mutawâtir Lafzhîy, Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy, dan Hadits
Mutawatir Amaliy.
1) Hadîts Mutawâtir
Lafzhîy
Hadîts Mutawâtir
Lafzhîy adalah Hadîts yang periwayatannya Mutawâtir dengan
lafadz yang sama oleh seluruh perawi.[[23]] Ini
sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib, seperti berikut ini
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
dari sejumlah perawi, dari sejumlah perawi, dengan lafaz yang sama,
-yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta- dari awal hingga akhir
sanad”
Muhadditsin memberikan pengertian hadits Mutawatir
lafdzi adalah suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafadh para rawi
padanya, dan demikian juga pada hukum dan maknanya
Contoh:
من كذب علي متعمدافليتبوا مقعده من
النار
“Siapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja maka
hendaklah mempersiapkan tempatnya di neraka”
2) Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy
‘Ajjâj
al-Khâtib mendefenisikan dengan:
ما اتفق نقلته على معناه من غير
مطابقة في اللفظ
“Hadîts yang diriwayatkan oleh para perawi dengan
makna yang sama, tetapi dengan lafaz yang berbeda”
Ini sejalan dengan yang
disampaikan oleh Nuruddîn Itr yang mendefenisikannya dengan Hadîts yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat melakukan
kedustaan dengan memakai matan yang berbeda-beda, namun memiliki
maksud atau makna yang sama.[[25]]
مااختلفوافى لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلى
Hadits mutawatir maknawi adalah hadits yang berlainan
bunyi lafadh dan maknanya tetap dapat diambil dari kesimpulannya satu makna
yang umum
Jadi hadits mutawatir maknawi adalah hadits mutawatir
yang para rawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun
walaupun berbeda lafadh atau redaksinya tetap terdapat persesuaian atau
kesamaan dalam maknanya[[26]]
Contohnya adalah seperti hadîts
tentang syafa’ah, ru’yah, mengucurnya air dari
jari-jemari Rasul Allah SAW.
3) Hadits Mutawatir Amaliy
Hadits mutawatir amaliy adalah:
ماعلم من الدين بالضّورة وتواتربين المسلمين أنّ النبي
ص.م فعله أو أمربه أوغيرذالك
Sesuatu yang dengan mudah dapat diketahui bahwa hal
itu berasal dari agama dan telah muawatir diantara kaum muslimin bahwa Nabi
melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu[[27]]
2. Hadîts Ahâd
a. Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa ahâd merupakan jama’ dariاحد dengan arti الواحد (satu). Maka Hadîts Ahâd merupakan hadîts
yang diriwayatkan oleh seorang perawi.[[28]] Sedangkan
secara istilah, ulama memberikan defenisi yang berbeda-beda, namun dengan
maksud yang sama di antaranya adalah:
Ø
Khatib
al-Baghdâdîy memberi defenisi sebagai berikut:
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang tidak cukup
(kurang) syarat atau sifat Mutawâtir”
Ø
‘Ajjâj
al-Khâtib memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما رواه الواحد او الاء اثنان
فاكثر مما لم تتورفيه شروط المشهور او المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذالك[[30]]
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang diriwayatkan oleh
satu atau dua orang perawi atau pun lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat
Masyhûr ataupun Mutawâtir, dan tidak diperhitungkan lagi perawi setelah itu
(tingkatan berikutnya)”
b. Pembagian hadits ahad ditijau dari segi kuantitas
perawinya
1) Hadîts Masyhûr
Secara Bahasa Masyhûr
merupakan ism mafûl dari اشهرت
dinamakan dengan Masyhûr mungkin karena kejelasannya. [[31]] Sedangkan secara
istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya Menurut
ulama Ushuliyyin, Hadîts Masyhûr adalah:
“Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi
dari golongan sahabat yang tidak mencapai batas Mutawâtir, kemudian setelah
sahabat hingga berikutnya mencapai jumlah Mutawâtir”
Adapun Hadîts
Masyhûr menurut Ibn Hajar sebagaimana yang dikutip
Nuruddîn Itr adalah ما له طرق محصورة باكثر مناثنين[[33]] (Hadîts yang memiliki jumlah
jalur yang terbatas dan lebih dari dua)
Menurut istilah Muhaditsin ialah:
مارواه الثلاثة فأكثرولم يصل درجة التواتر
Hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang rawi atau lebih, akan tetapi tidak mencapai derajat hadis mutawatir[[34]]
Ada juga yang menta’rifkan
sebagai berikut
مااشتهربين الناس وكان أوّله
منقولا عن الواحد أوالأثنين, فإن لم يكن له أصل, فلا يسمّى مشهورا
Hadits yang telah masyhur
diantara manusia, padahal asalnya dari seseorang atau dua orang saja, maka
apabila hadits yang telah tersiar itu tiada berasal, tiadalah ia dinamai denga
masyhur[[35]]
2) Hadits Aziz
Menurut lughat, aziz
semakna dengan asy-syarif yang berarti mulia
Sedangkan menurut
istilah Muhadditsin ialah:
مارواه اثنان ولوكانا فى طبقة واحدة ثم رواه بعدذالك
جماعة
Hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, meskipun dua perawi tersebut hanya
terdapat pada satu thabaqat (lapisan), kemudian setelah itu diriwayatkan oleh
orang banyak.[[36]]
3) Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa
berarti asing
Menurut istilah
Muhaditsin adalah :
ماانفردبروايته نخص فى اي موضع وقع التفرد به من السند
Hadits yang dalam periwayatannya ada perawi yang
menyendiri, di (thabaqat) mana saja penyendirian itu terjadi dalam sanad
Maksud daripada penyendirian perawi dalam meriwayatkan
hadits, bisa berarti :
-
Mengenai
personnya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain dia sendiri
-
Mengenai
sifat atau keadaan perawi, yakni sifat atau keadaan perawi itu berbeda dengan
sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits itu.
D. Berdasarkan Kwalitas
1. Hadits maqbul
a. Hadîts Shahîh
Secara bahasa Shahîh merupakan
lawan dari سقيم (sakit).
Istilah Shahîh pada dasarnya dipakaikan untuk
menyebutkan keadaan fisik, dan terhadap hadits ini merupakan bentuk majazy/maknawiy.[[37]]
Secara istilah terdapat beberapa defenisi yang
dirumuskan oleh ulamahadîts di antaranya:
1) Ibn Shalah:
هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضبط عن العدل الضبط الى منتهاه ولا
يكون شاذا ولا معللا
“Adalah musnad yang sanadnya bersambung melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula
sampai ke ujungnya, tidak sadz dan tidak pula terkena ilat”[[38]]
2) Imam Nawawiy:
هوما اتصل سنده بالعدول الضابطون
من غير شذوذ ولا علة
“Adalah Hadîts yang sanadnya bersambung melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit tanpa
adanya sadz dan ilat”[[39]]
3) ‘Ajjâj al-Khâtib:
هوما اتصل سنده برواية الثقة من الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
“Adalah hadîts yang sanadnya bersambung
melalui periwayatan orang yang tsiqah dari orang tsiqah tanpa adanya sadz
dan ilat”
Dari defenisi-defenisi yang disampaikan oleh para
ulama di atas setidaknya dapat disimpulkan syarat-syarat hadîts
Shahîh, sebagai berikut:
Ø
Ittishal
al-sanad (Bersambung sanadnya),
maksudnya antara satu perawi dengan perawi sesudah dan sebelumnya dimungkinkan
untuk bertemu. Sehingga dengan syarat ini dikecualikan hadîts munqati’,
mu’dhal, mu’allaq, dan mudallas.[[40]]
Ø
Diriwayatkan
oleh perawi yang ‘âdil
Adapun yang dimaksud dengan perawi ‘âdil adalah
perawi yang memiliki integritas agama, akhlak yang baik serta terhindar dari
perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah-nya. Sebagai
mana yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib sebagai
berikut:
Ø Diriwayatkan oleh perawi yang dhâbit
Adapun dhâbit sebagaimana
yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib adalah:
ضابط: هو تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه, وحفظه لذالك من وقت التحمل
الى وقت الأداء
Maksudnya seorang
perawi menyadari hadits tersebut ketika mendengarnya, memahami maknanya ketika
menyampaikan, dan menghafal/memahami hadîts mulai dari waktu menerima hingga menyampaikannya
Ø Tidak terdapat Syuzûz
Tidak terdapat syuzûz maksudnya
adalah bahwa riwayat tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan yang
lebih tsiqah darinya. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh
‘Ajjâj al-Khâtib:
الشذوذ: مخالفة الثقة من هو ارجح
من
Ø
Tidak
terdapat ‘ilat
‘ilat yaitu sifat tersembunyi yang mencemari keshahihan
hadîts, baik yang terdapat pada sanad maupun pada matan, Seperti:
me-mursal-kan yang maushûl, me-muttashil-kan yang munqati’ atau
me-marfu’-kan yang mauquf, dan bentuk bentuk sejenis
lainnya.
Hadîts Shahîh dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu Hadîts Shahîh li dzâtihi dan Hadîts
Shahîh li ghairihi.
1) Hadîts Shahîh li dzâtihi yaitu Hadîts Shahîh yang sesuai
dengan kriteria Hadîts Shahîh sebagaimana yang disebutkan di dalam
defenisi di atas.
2) Hadîts Shahîh li ghairihi yaitu: hadits yang ke-shahîh-annya
dikarenakan faktor lain. Seperti Hadîts Hasan yang menjadi
Shahîh dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan.
b. Hadîts Hasan
Pada awal perkembangan ilmu hadîts,
pembagian hadîts berdasarkan kwalitas ini hanya di bagi menjadi dua
yaitu hadits Shahîh dan hadits Dha’îf. Adapun yang
mempopulerkan istilah hadîts Masyhûr ini untuk pertama
kalinya adalah Abu ‘Îsa al-Tirmîdziy.
1) Pengertian Hadîts Hasan
Menurut istilah Hadîts Hasan yaitu Hadîts
yang memiliki sanad bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil yang
lebih rendah ke-dhâbit-annya, tanpa adanya Syâdz dan ‘illat.[[42]]
2) Macam-Macam Hadîts Hasan
Sebagaimana hadîts
Shahîh, hadîts Hasan dibagi juga menjadi
dua macam yaitu hadîts Hasan li dzâtihi dan hadîts Hasan
li ghairihi.
Hadîts Hasan
li dzâtihi yaitu Hadîts Hasan yang
sesuai dengan kriteria hadîts Hasan sebagaimana
yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts hasan
li ghairihi yaitu: hadits dha’if
yang menjadi hasan di karenakan faktor lain. Seperti hadîts
Dha’if yang menjadi hasan dikarenakan oleh adanya
jalur-jalur lain yang menguatkan, dengan syarat dha’if tersebut
bukan dikarenakan perawinya banyak sekali lupa, banyak salah, tertuduh
melakukan dusta ataupun fasiq.
2. Hadits Mardud
a. Hadîts Dha’îf
1) Pengertian dan Pembagian Hadîts
Dha’îf
Secara bahasa dha’îf merupakan
lawan dari kata القوي (kuat).[[43]]
Sedangkan secara Istilah Hadîts Dha’if yaitu hadîts
yang tidak memenuhi syarat-syarat Maqbul, atau hadîts
yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits Shahîh ataupun hadits Hasan
hadits Dha’îf di
bagi menjadi dua yaitu Dha’îf yang disebabkan oleh ketidak
bersambungan sanad dan yang disebabkan cacat pada matan.
2) Hukum beramal dengan Hadîts Dha’îf
Mengenai
beramal dengan hadîts Dha’îf ini terdapat
tiga pendapat ulama yang berbeda-beda, di antaranya:
a) Menurut Yahya ibn Mâ’in, Ibn Hazm,
al-Bukhâriy dan Muslim hadîts Dha’îf tidak dapat
diamalkan secara mutlak.
b) Menurut Abu Daud dan Imam Ahmad hadîts Dha’îf dapat
diamalkan secara mutlak. Menurutnya beramal dengan hadîts Dha’îf lebih
baik dari pada memakai ra’yu
c) Hadîts Dha’îf dapat digunakan di dalam masalah fadh-il
al-a’mal dan mawâ’iz jika memenuhi syarat berikut:
Ø
Ke-Dha’îf -annya
tidak bersangatan. Yaitu perawi tersebut bukan orang yang tertuduh berdusta
atau terlalu sering melakukan kesalahan.
Ø
Hadîts
Dha’îf tersebut masuk
cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan
Ø
Ketika
mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar untuk
kehati-hatian.
E. Pembagian Berdasarkan Penisbatan
1. Hadîts Marfû’
Menurut bahasa marfû’ merupakan isim
maf’ûl dari رفع yang merupakan
lawan dari kata وضع(rendah).
Dipakainya istilah marfû’dikarenakan penisbahannya kepada nabi
Muhammad SAW sebagai seorang sosok yang mulia, yang memiliki derajat yang
tinggi.[[44]]
Sedangkan menurut Nuruddîn Itr Hadîts
Marfu’ adalah:
وهو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة من قول او فعل اوتقرير او
وصف[[45]]
Defenisi ini sama dengan defenisi
mayoritas ulama Hadîts termasuk ‘Ajjâj al-Khâtib, hanya saja ‘Ajjâj
al-Khâtib menambahkan dengan kalimat “baik hadîts itu muttasil maupun
munqati’. Dan penulis memandang hal itu wajar karena
Nuruddîn Itr meletakkan pembahasan marfu’ sejalan
dengan mauquf dan maqtu’, sementara ‘Ajjâj al-Khâtib
meletakkannya sejalan dengan pembahasan musnad dan muttashil.[[46]]
Muttashil adalah hadits yang bersambung sanad-nya
baik yang marfû kepada Rasul Allah maupun mauqûf. Hadits
Musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya dari awal
hingga akhir, Yang biasanya dipahami sebagai hadits marfû’ lagi muttashil
Berbeda dengan mayoritas ulama,
Al-Khatib al-Baghdâdîy membatasinya dengan sesuatu yang dikhabarkan
oleh sahabat dari Rasul Allah SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Dan jika
kita amati defenisi Hadîts Mursal tidak termasuk ke
dalam Hadîts marfu sesuai dengan
defenisi ini.
2. Hadîts Mauquf
Menurut bahasa mauqûf’ merupakan isim
maf’ûl dari الوقف (berhenti). [[47]] Jadi secara
bahasa hadîts mauqûf yaitu hadîts yang para
perawinya berhenti hanya sampai tingkatan sahabat, dan tidak meneruskannya
sampai ke ujung sanad yang tersisa.
Secara istilah Hadîts Mauquf adalah
sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat. Defenisi ini penulis ambil setelah
melihat beberapa defenisi yang diberikan ulama Hadîts, di
antaranya:
v
Nuruddîn Itr
وهو ما اضيف إلى الصحابة رضوان
عليهم[[48]]
v
Ibn
Shalah
Fuqaha’ Kurasan, menyebut yang mauqûf ini
dengan atsar, dan yang marfû’ dengan khabar. Namun
mayoritas ulama menyebut keduanya dengan istilah Atsar.
Menurut mayoritas ulama Hadîts mauqûf
tidak berstatus marfû’, kecuali ada indikasi yang menunjukkan ke-marfû’-annya.
Seperti Ucapan sahabat: “Kami melakukan begini di masa Rasul Allah
SAW” atau pernyataan sahabat terkait dengan kesaksiannya menyaksikan
turunnya wahyu kepada Rasul Allah.
3. Maqtu’
Yang dimaksud
dengan maqtu’ adalah sesuatu yang diriwayatkan
dari tabi’in. Ini sesuai dengan defenisi yang disampaikan oleh
Nuruddîn itr
وهو ما اضيف إلى التابعى[[50]]
Satu hal yang mesti di garis bawahi terkadang ada yang
memakai istilahmaqtu’ ini untuk menyebutkan Hadîts yang terputus
sanadnya. Dan hal ini biasanya terjadi sebelum dibakukannya defenisi mauquf dan maqtu’ ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di
dalam ilmu Mustalah al-hadîts, hadîts
di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama berdasarkan bentuk asal, hadîts
dibagi menjadi empat yaitu: hadîts Qauliy, hadîts
fi’liy, hadîts Taqrîriy dan hadîts
Shifatiy. Kedua berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi
menjadi dua yaitu: hadîts Qudsiy dan hadîts
Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah periwayat, hadîts
dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts
Ahad (Meskipun Hanafiyah membaginya menjadi tiga). Keempat
berdasarkan kwalitas, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts
Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts Dha’îf . Terakhir
berdasarkan penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts
Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts
Maqtû’.
B. Sara-saran
Dikarenakan
para ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan pembagian
hadits, dan perbedaan itu adalah suatu yang wajar, selagi dengan tipologi dan
alasan yang jelas, maka ketika membahas macam-macam hadîts perlu
diketahui pembagian tersebut menurut siapa dan berdasarkan hal apa. Sehingga
tidak menimbulkan ketimpangan di dalam pembahasan yang terkait dengan pembagian
hadîts ini
DAFTAR
PUSTAKA
Darodji, Ahmad, dkk, Pengantar
Ilmu Hadits, Semarang, 1986
_______, Fattah Al-Qur’an
Hadits kelas VII: Putra Nugraha
http://rho-mieth.blogspot.com/2011/11/klasifiksi-hadits-ditinjau-dari.html
https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/
http://iwansetiawan13.blogspot.com/2013/01/pembagian-hadits-ditinjau-dari-segi_989.html
http://jungpasir27.blogspot.com/2013/10/makalah-ulumul-hadits-sistematika.html
[2]
Muhammad
‘Ajjâj al-Khâtib (selanjutnya ditulis dengan ‘Ajjâj al-Khâtib), Ushûl
al-Hadîts Ulûmuhu wa Mustalahuhu, ( Beirut: Dar al-Fikr,
2006), h. 14
[3]
Imam Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik ibn ‘Abd
Allâh ibn Yusuf al-Juwaini, Al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah,
1997), h. 182-183
[5]
Imam
Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik ibn ‘Abd Allâh ibn Yusuf al-Juwaini, Al-Burhân
fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), h. 182-183
[6]
Muhammad Nasiruddin Al-Baniy, Shifat Shalat nabi SAW min al-takbir
ila Taslim ka annaka tarhaha, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif,
[t.th]), h.35
[7]
Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), h.
458, atau Muhammad Sa’id Ramadhân al-Buthi, Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah min
Ilmi al-Ushul, (Damaskus: maktabah al-Ta’âwûniyah, 1974) h. 19- 21.
[9]
Al-Bukhâriy, Op Cit, Jld. I, h.321, Hadits ini Juga
diriwayatkan Oleh Imam Muslim, Lihat. Muslim Ibn Hajjâj abu Husain al-Qursyiy
al-Naisabûriy (Selanjutnya ditulis dengan Muslim), Shahîh Muslim, (Beirut: Dar al-Ihyâ’
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h.
22
[11]
Abd Allah
ibn Muhammad abu Bakr al-Qursyiy (Ibn Abi Dunya), al-Tawadu’ wa
al-Khumul, (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiayah, 1989), Juz I, h. 205
[13] Ahmad Daradji, Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, 1986. Hal 64
[22]
Nasiruddîn al-Bâniy, Al-Hadîts Hujjatun bi Nafsihi
fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, Terj. Oleh Mohammad Irfan Zein (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h.
19
[25] Nuruddîn Itr, Op Cit, h.
404
[33]
Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 409 , Lebih lanjut lihat Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn abiy Bakr
Ibn Usmân al-Sakhâwiy, Al-Taudhîh al-Abhâr li Tadzkirati ibn Mulqin fi ilmiy
al-Âtsâr, (Su’udiyah: Maktabah Ushûl al-Salâf), 1418 H, h. 49
[38]
Al-Imam abiy ‘Amrû ‘Usmân ibn ‘Abd al-Rahmân
al-Syahrazûriy (Selanjutnya ditulis dengan Ibn Shalâh), Muqaddimah ibn Shalâh fi Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1995), h. 15-16, atau Zainuddîn abd al-Rahîm ibn Husain al-‘Irâqiy, Al-Taqyîd wa al-Îdhah lima Utliqa wa
Ughliqa min Muqaddimah ibn shalâh, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah,
1996), h 20
[39]
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn abiy Bakr al-Suyûtiy, Tadrîb al-Râwiy fi Taqrîb al-Nawâwiy, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah,
1996),
[45] Nuruddîn Itr, h. 325
[48]
Nuruddîn Itr, h.326
[49]
Ibn Shalâh, Op Cit,h. 42, atau Badruddîn abiy Abd Allâh
Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh ibn Bahâdir, Al-Naktu ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah, (Riyad: Adwal al-Salâf, ([tt]), Jld.
I, h 213
Atau
lihat ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h. 250
No comments:
Post a Comment