Sunday, March 19, 2017

MAKALAH GOLONGAN MURJI’AH

MAKALAH
GOLONGAN MURJI’AH
Makalah Ini Ditulis dan Ditujukan Guna Memenuhi Tugas oleh Dosen Pengampu Drs. H. Amir Gufron, M.Ag














Disusun Oleh :
Ahmad Ainurrizal
Uswatun Khasanah
Bachrul Ulum Rully
Nasikhul Umam

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS  ISLAM  NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
Alamat: Jalan Taman Siswa No.9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode Pos 59427,Telp./Fax (0291)593132












GOLONGAN MURJI’AH

A.    Asal-usul kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah Swt. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan sesorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagi kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham Syiah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu, al-Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah).” Dengan sikap politik ini, al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syiah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dab para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali, yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain, seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua, serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.[1]
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab beberapa daerah takluk kedalam kekuasaannya. Syria jatuh 638 M, disusul Mesir pada 641 M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan umat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar, dengan kekayaan yang cukup dan tinggi peradabannya, masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur, dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah oleh seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan, bahwa meluasnya wilayah Islam ketiga daerah tersebut:
Pertama, penduduk dari wilayah-wilayah Persia, Syria, dan Mesir itu masing-masing telah mengenal peradaban-peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban dan agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi, dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan Mesir, tatkala khalifah Umar membebaskannya.
Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu yang melakuka konversi agama kedalam Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadinya denga pesatnya, terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apabila raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta dan orang-orang kaya mereka masuk Islam, maka merekapun masuk Islam pula.
Kedua hal diatas tentu saja berpengaruh pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab umat Islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir, dan Syria) telah membawa peradabnnya dan cara-cara pemikirannya kedalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Hal ini menjadi persoalan bari di kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi) manakah dari peradaban dan pemikiran itu yang sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula yang berbeda, bertentangan, dan ditolak oleh agama Islam.
Untuk terjadilah pertukaran pikiran diantara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalaudalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah tumbuh benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat dalam dalam soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qadar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan bari ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar dan meluas. Meluas baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.[2]

B.     Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasana atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasiakan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietist (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks  sehngga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial sains), tauhis tafsir Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di kalangan ,generasi awal Islam, tobat, hakikat Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.
Berkaitan dengan dokrin ketentuan Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut:
1.      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2.      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat khulafaur rasyidin
3.      Pemberian harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
4.      Doktrin-doktrin Murji’ah meyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis.

Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang Muslim tang berdosa besar.
3.      Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
4.      Memberikan pengharapan kepada Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu A’la al-Maududi menyebutkan dua doktrin ajaran pokok Murji’ah, yaitu:
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan RasulNya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Bedasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

C.     Sekte-sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlussunnah. Oleh karena itu, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
1.      Murji’ah Khawarij
2.      Murji’ah Qadariyah
3.      Murji’ah Jabariyah
4.      Murji’ah Murni
5.      Murji’ah Sunni

Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:
1.      Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
2.      Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
3.      Al-Yunusiyah, pengikut Yunus as-Samary
4.      As-Samriyah, pengikut Abu Samr bin Yunus
5.      Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6.      Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
7.      An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
8.      Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah an-Nu’man
9.      Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10.  Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
11.  Al-Murisiyah pengikut Basr al-Murisy
12.  Al-Kaaramiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijitany[3]

Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasu-rasulNya serta apa saja yang datang dariNya secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman ini tidak bertambah da tidak pula berkurang. Tak ada perbuatan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah al-Hasan Bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dab beberapa ahli hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah al-Jahmiyah, ash-Shalihiyah, al-Yunusiyah, al-Ubadiyah, dan al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut:
1.      Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shufwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2.      Shalihiyah, kelompok Abu Hasan ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidah tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3.      Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (politheist).
4.      Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan diatas timbul dari pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukkminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang ada di dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbutan-perbutan tidak merusak iman seseorang.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolerir penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting dan abaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian
Inilah kelihatannya yang menjadi sebab maka nama Murji’ah itu pada akhirnya mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi.
Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat dalam golongan Murji’ah moderat tersebut diatas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahlus sunnah wal jama’ah dalam Islam.
Menurut al-asy‘ari sendiri iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga, karena ia tak mungkin akan kekal tinnggal dalam neraka.
Pendapat yang diuraikan al-Asy’ari ini identik dengan pendapat yang dimajukan golongan Murji’ah moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka ibn Hazm memasukkan al-Asy’ari kedalam golongan kaum Murji’ah.
Paham yang sama diberikan oleh al-baghdadi ketika ia menerangkan bahwa ada tiga macam iman
1.      Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal kedalam neraka: yaitu mengakui Tuhan, kitab, Rasul-Rasul, kabar baik dan buruk, sifat-sofat Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syariat.
2.      Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasiq dari seseorang serta yang melepaskannya dari  neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
3.      Iman yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa perhitungan, yaitu mengerjakan segal yang wajib serta yang sunnat dan menjauhi segala dosa.

Ringkasannya menurut uraian diatas orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak kekal di dalam neraka. Orang demikian adalah mikmin dan akhirnya akan masuk surga.
Kalau yang diatas merupakan pendapat dari ahlussunnah golongan Asy’ari maka dari golongan ahlussunnah maturidiyah, al-Bazdawi memberikan uraian sebagi berikut. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. Kepatuhan pada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan atau iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir. Orang yang berdosa besar tidak akan kekal dalam neraka sungguhpun ia meninggal dunia sebelum sempat bertaubat dari dosa-dosanya. Nasibnya di akhirat terletak pada kehendak Allah; orang yang demikian mungkin memperoleh ampunan dan masuk surga, mungkin pula dosanya tidak diampuni, dan oleh karena itu dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan kehendak Allah dan kemudian baru dimasukkan ke dalam surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan, sembahyang dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankannya. Dengan demikian dosa-dosa besar, apalagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang menjadi kafir dan tidak membuat seseorang keluar dari iman.  Iman merupakan jaminan bagi seseorang untuk masuk surga dan kepatuhan kepada Tuhanlah yang menentukan derajat yang akan diperoleh seseorang di dalamnya. Dengan kata lain, dalam pendapat al-Bazdawi, iman adalah kunci untuk masuk surga, sedang amal akan menentukan tingkatan yang dimasuki seseorang dalam surga. Kalau amal baiknya banyak, tingkatan yang akan diperolehnya tinggi, tetapi jika amal baiknya sedikit derajat yang akan diperolehnya rendah.
Dengan demikian pendapat-pendapat yang diterangkan oleh pemuka-pemuka ahlussunnah tersebut diatas pada dasarnya sama dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh kaum Murji’ah moderat. Hal ini diakui sendiri oleh al-Bazdawi ketika ia mengatakan, “kamu Murji’ah pada umunya sependapat dengan ahlussunnah wal jamaah.”
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang beridiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur, dan dosa besa besar masuk dalam aliran ahlussunnah wal jamaah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendir, tetapi dalam praktek masih terdapat sevagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongan Murji’ah ekstrim.[4]





 DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)




[1] Abdul, Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal.56
[2] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 152 dikutip dari Amin, Dluha, Juz III, hal 316.
[3] Op.cit.,
[4] Harun, Nasutin, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)1986), hal. 29

Konsep Fitrah Manusia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Akal adalah salah satu potensi rohani yang dimiliki oleh manusia. Di samping akal manusia mempunyai potensi rohani lain yang disebut dengan fitrah. Secara fitri, Allah SWT sebagai  sang khalik telah menciptakan manusia sebagai suatu makhluk yang istimewa, yaitu makhluk yang memiliki berbagai macam kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainnya, baik itu kelebihan dari segi jasmani maupun rohani.
Dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang, dalam psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran behaviourisme disebut prepotence reflexes (kemampuan dasar yang dapat berkembang). Oleh sebab itu, untuk mengatur fitrah atau potensi yang ada danagar dapat menggunakannya secara optimal, manusia dirasa perlu mengetahui hakekat dari fitrah itu sendiri.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Fitrah Manusia
Dalam pengertian yang sederhana istilah definisi fitrah sering dimaknai suci dan potensi. Secara etimologis, asal kata fitrah / fitroh / pitrah berasal dari bahasa Arab, yaitu fitrah (فطرة) jamaknya fithar (فطر), yang suka diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang berarti belahan[1]. Dari makna ini lahir makna-makna lain, antara lain pencipta atau kejadian.

Dalam gramatika bahasa Arab, sumber kata fitrah wazannya fi'lah, yang artinya al-ibtida', yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi'lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukkan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn al-Qayyim dan Ibnu Katsir, karena fiţir artinya menciptakan, maka fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab lafadz fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Quran dalam konteksnya selain dengan manusia.

Fitrah manusia berbeda dengan watak atau tabi'at. Juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak atau tabi'at adalah sifat dasar, seperti kalimat watak oksigen adalah mudah terbakar. Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri dari pada bentuk, dan materi (mâddah). Inilah yang merupakan watak atau tabi'at suatu benda. Sedangkan naluri atau garizah adalah sifat dasar. Sifat dasar ini bukan muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya, anak kuda begitu lahir langsung bisa berdiri. Semut, meskipun binatang kecil namun mampu mengumpulkan makanan. Inilah yang disebut naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang, fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi'at) dan naluri ini juga bukan diperoleh melalui usaha (muktasabah). Bukan pula karena khuduri (perolehan). Istilah fitrah lazimnya untuk manusia, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak lazimnya untuk benda.

Penyebutan kata fitrah ini hanya satu ayat yang menunjukkan bentuk fitrah secara jelas, yaitu dalam surat al-Rûm ayat 30. Kata fitrah dalam ayat ini mempunyai beberapa arti. Dalam kamus Al-Munawwir, kata fitrah diartikan dengan naluri (pembawaan).[2] Kemudian Mahmud Yunus mengatakan, kata fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli[3]. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (KBBI), kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.[4]

Selain itu, Lusi Makluf mengatakan, kata fitrah diartikan dengan agama, sunnah, kejadian, tabiat. Kamus Indonesia-Inggris susunan John Echols dan Hasan Sadili, mengartikan fitrah dengan natural, tendency, disposition, character.[5] Dan Kamus Arab-Melayu mengartikan fitrah dengan agama, sunnah, mengadakan, perangai, semula jadi, kejadian (khilqatun).

Al-Qur’an mempergunakan katak fathir dalam banyak ayat untuk memberi pengertian sang Pencipta. Ayat-ayat Al-Qur’an ini dihubungkan dengan langit dan bumi. Kata kerja fathara juga banyak digunakan. Dalam ayat-ayat ini, langit dan bumi digunakan sebagai obyek kata kerja, sedangkan manusia sebagai obyek yang lain. Tidak ada yang dapat menemukan pengertian hakikiah tentang makna fithrah yang sesungguhnya. Sebab kata fathara yang digunakan secara sederhana disini berarti makhluk yang diciptakan. Namun dalam salah satu ayat fithrah ini menegaskan makna agama (din). Dalam surat Al-Rum kita baca:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Ayat diatas menghubungkan makna fithrah dengan agama Allah (din). Hubungan fithrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi keduanya.
Penekanan mengenai hakikat makna fithrah yang sesungguhnya secara lebih terperinci lagi, berasal dari ayat dibawah ini yang menandai bahwa, Allah telah membuat perjanjian kesaksian (amanat) dengan manusia agar berlaku adil dan baik hati. Dalam QS Al-A’raf (17): 172, Allah berfirman:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

            Ayat diatas membuktikan bahwa Allah menjanjikan kepada manusia agar mengakui Allah ini illahnya dan sesembahannya
            Ada sebuah penafsiran yang membatasi makna fitrah kepada tauhid. Hal ini didasarkan atas satu riwayat yang dikaitkan dengan Abdullah bin Abbas yang mampu memahami makna fitrah yang sesuungguhnya. Sehingga dua orang Badui yang berselisih pendapat tentang fithrah ini diriwayatkan sebagai berikut: salah seorang dari mereka berpendapat, bahwa apa yang dia maksudkan itu benar. Maka salah seorang mengabarkan kepada Abdullah bin Abbas yang mengatakan bahwa dia memiiliki kata fathara yang pengertian yang paling baik, karena orang yang pertama itulah yang mulai mencari-cari pengertian itu. Mempertahankan pandangan akan makna fithrah atau fathara dan fathir dalam benaknya, dan bahwa tauhid merupakan pokok utama agama, maka fithrah dan tauhid mengandung makna persis dan keduanya adalah sinonim.
            Fithrah menurut penafsiran lain mengakui bahwa fithrah berarti bentuk yang diberikan kepada manusia pada saat penciptaannya dahulu. Adapun manusia harus mengarahkan fithrah itu kepada Iman Billah. Pandangan ini didasarkan kepada alasan Al-Qur’an. Ibnu Qayyim menyelipkan sebuah pernyataan: manusia menerima Islam itu adalah sama dengan jalan yang ditempuh seorang anak kecil yang menerima dan mengakui ibunya. Sesuai dengan pandangan ini, manusia bukanlah sudah Muslim semenjak lahirnya, melainkan telah dibekali potensi-potensi yang memungkinkannya menjadi Muslim.

            Konsep fithrah dalam Al-Qur’an juga bertentangan dengan teori yang menganggap, manusia itu sesungguhnya suci bersih. Pendukung aliran Behariorisme dalam psikologi memandang bahwa manusia itu ketika dilahirkan tidak mempunyai kecenderungan baik maupun jahat. Teori yang seperti ini yang kemudian disebut dengan “teori Tabula Rasa”, lingkunganlah yang memainkan peranan dalam membentuk kepribadiannya. Menurut Skinner, “lingkungan menentukan kehidupan manusia ketika manusia ini melibatkan dirinya dengan lingkungan sekitar”, maka manusia buka warisan yang lebih dari refleksi-refleksi. Agama sebagaimana aspek-aspek lain dari tingkah laku manusia dapat diwujudkan ke dalam terma-terma mengenai faktor-faktor lingkungan sekitar.

Dalam pemikiran pendidikan Islam, fitrah penciptaan manusia merupakan diskursus yang banyak dibahas oleh para ahli, mengingat salah satu aspek pendidikan Islam adalah upaya menumbuhkembangkan potensi manusia yang dibawa sejak lahir. Potensi inilah yang dalam konteks pendidikan Islam disebut dengan fitrah. Ahmad Tafsir menegaskan bahwa fitrah adalah potensi. Potensi adalah kemampuan. Dalam hal ini fitrah dapat disebut sebagai pembawaan. Tafsir menghubungkan fitrah dengan hadits yang berbunyi:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةٍ, فَأَبَوَاهُيُهَوِّدَانِهِ أَوْيُنَصِّرَنِهِأَوْيُمَجِّسَانِهِ

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua ayah dan ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Hadits Nabi diatas menekankan, bahwa fithrah yang dibawa semenjak lahir bagi anak itu sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan. Fithrah itu sendiri tidak akan berkembang tanpa dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan menjadikannya lebih baik. Faktor-faktor eksteral bergabung dengan fitrah, sifat dasarnya bergantung pada sejauh mana interaksi eksternal dengan fitrah itu berperan. Sebaliknya, menurut pengamat behavioris, fitrah tidak mengharuskan manusia berusaha sekeras tenaga terhadap lingkungannya. Dua orang anak yang hidup dalam kondisi sama barngkali memberi respon terhadap setiap stimulus serupa dalam cara yang berbeda-beda atau dengan yang lain.
            Teori yang menganggap manusia pada asalnya suci bersih seperti kertas putih, akan memberi peranan besar bagi pendidikan dan pengajaran. Pada mulanya anak kecil yang belum lahir itu tidak mempunyai unsur baik atau unsur jahat. Maka pengajaran yang efektiflah yang akan menghasilkan kepribadian sebagai mana dicita-citakan.
            Konsep fithrah juga menuntut agar pendidikan Islam hanya bertujuan mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah. Kendatipun para pelajar yang belajar di sekolah tidak bertentangan dengan prinsip mendasar ini. Percaya dan yakin bahwa manusia harus mengakui Allah karena fithrah manusia ini tidak dapat dipadukan dengan teori yang menganggap monoveisme sebagai suatu tingkatan perkembangan kepercayaan agama. Tauhid dengan demikian telah mempunyai esensi dari semua bentuk agama-agama yang ditunjukkan oleh Allah kepada manusia [6]
Berdasarkan beberapa pengertian tentang konsep fitrah sebagaimana tersebut di atas, maka secara umum makna fitrah bermacam-macam, di antaranya adalah: fitrah dalam artian kejadian awal, bentuk awal, kemampuan dasar, potensi dasar, suci, agama, ciptaan, dan perangai. Fitrah hanya diperuntukkan bagi manusia. Sedangkan bagi binatang, fitrah sama dengan naluri atau tabi'at.
al-Ghazali mengartikan bahwa fitrah merupakan dasar bagi manusia yang diperolehnya sejak lahir dengan memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:
  1. Beriman kepada Allah SWT;
  2. Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran;
  3. Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berujud daya untuk berpikir;
  4. Dorongan biologis yang berupa syahwat, nafsu, dan tabiat;
  5. Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Sedangkan Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abul Mujib menjelaskan pembagian fitrah manusia menjadi dua macam, yaitu:
  1. Fitrah al-Munāzzalah, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Garīzah.
2.      Fitrah al-Garīzah, yaitu fiţrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal, yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.[7]
Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa jebis fitrah itu memilik banyak dimensi, antar lain
1.      Fitrah agama; sejak lahir, manusia mempunyai naluri atau insting beragama, insting yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha mutlak, yaitu Allah SWT. Sejak di alam ruh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya (QS. Al-A’raf:172), sehingga ketika dilahirkan, ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak (Allah) (QS. Ar-Rum:30)
2.      Fitrah intelek; intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Allah SWT sering memperingatkan manusia untuk menggunakan fitrah inteleknya, misalnya dengan kalimat: afal ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tubshirun, afala tadabbarun, dan sebagainya, karena daya fitrah intelek ini yang dapat membedakan antara manusia dan hewan.
3.      Fitrah Sosial; kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang didalamnya terbentuk suatu ciri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. Islam dapat disebut sebagai ide, sedangkan kebudayaan disebut dengan realita. Riealita yang ideal adalah realita yang terdekat dengan ide, sehingga membentuk kebudayaan masyarakat yang islami. Walaupun wujud kebudayaan bermacam-macam dan bervariasi substansinya tidak menyalahi Islam. Oleh karena itu, tugas pendidikan disini adalah menjadikan kebudayaan Islam sebagai proses kurikulum pendidikan Islam dalam seluruh peringkat dan tahapannya.
4.      Fitrah susila; kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat Islam. Manusia yang menyalahi fitrah susilanya, akibatnya menjadi hina (QS al-Anfal:55, Al-A’raf: 179)
5.      Fitrah ekonomi (mempertahankan hidup); daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniah, demi kelangsungan hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya matrealisme atau diperbudak oleh materi bagi manusia, atau mengeksploitasi kekaaan alam untuk kepentingan diri pribadi. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi dari tugas-tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
6.      Fitrah seni; kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika, yang mengacu pada sifat al-jamal Allah SWT. Tugas pendidikan yang terpenting adalah memberikan suasana gembira, senang dan aman dalam proses belajar mengajar, karena pendidikan merupakan proses kesenian, yang karenanya dibutuhkan seni mendidik.
7.      Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.

Semua kebutuhan kehidupan manusia merupakan fitrahnya yang menuntu untuk dipenuhi. Sayyid Quthub mengemukakan kebutuhan pokok manusia yang terbagi atas 4 macam, yaitu (1) kebutuhan hati nurani setiap insan untuk memperoleh kepuasan, ketentraman dan ketenangan, (2) kebutuhan akal pikiran setiap insan untuk memperoleh kebebasan, kemerdekaan dan kepastian, (3) kebutuhan perasaan setiap insan untuk memperoleh rasa saling pengertian, kasih sayang dan perdamaian; dan (4) kebutuhan hak dan kewajiban setiap insan untuk memperoleh perundang-undangan, ketertiban dan keadilan.
            Menurut Abd al-Rahman al-Bani yang dikutip al-Nahlawi, tugas pendidikan Islam adalah menjaga dan memelihara fithrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program tersebut secara bertahap.
            Pengembangan berbagai potensi manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat maupun lewat institusi sosial keagamaan yang ada. Menurut pendapat ahli sosiologi, institusi-institusi sosial itu dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu kelluarga, keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan, dan media massa. Setiap institusi ini mempunyai simbol, identitas fisik, dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku anggotanya[8]

Tidak jauh berbeda dengan pengertian fitrah menurut al-Qur'an, maka pengertian fitrah menurut Sunnah tidak lepas dari penafsiran terhadap al-Qur'an surat al-Rûm ayat 30. Dari ayat tersebut timbul interpretasi sunnah terhadap beberapa pengertian fitrah , yaitu sebagai berikut:
Pengertian pertama dari fitrah menurut Sunnah adalah fitrah dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza'iy bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia. Kesucian yang dimaksud adalah sebagaimana Hadits Rasulullah Saw:
خَمْسٌ مِّنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَتَقْلِيْمُ اْلاَظَافِرِ وَنَتْفُ اْلإِبْطِ. )متفق عليه عن أبى هريرة(

Lima macam dalam kategori kesucian, yaitu berkhitan, memotong rambut, mencukur kumis, menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak. (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Kesucian yang dimaksud dalam konteks pendidikan Islam adalah, kesucian manusia dari dosa waris, atau dosa asal, sebagaimana dikatakan oleh Isma‘il Raji al-Faruqi: Manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dan dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli di lingkungan, masyarakat, keluarga macam apa pun dia dilahirkan. Islam menyangkat setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa waris, dan tanggung jawab penebusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional ataupun internasional. Jadi, pengertian pertama fitrah menurut Sunnah adalah kesucian (ţuhr), yakni kesucian manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sejak awal, sehingga manusia tidak dibebani dosa warisan atau dosa asal sebagaimana diyakini oleh kaum Nasrani.
Pengertian fitrah kedua menurut Sunnah adalah fitrah berarti Islam (Dîn al- Islâm). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a. bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama, sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
اَلاَ اُحَدِّثُكُمْ بِمَاحَدَّ ثَنِيَ اللهُ فِى كِـتَابِهِ اَنَّ اللهَ خَلَقَ اٰدَمَ وَبَنِيْهِ حُنَفَآءَ مُسْلِمِيْنَ.)رواه عياض بن خمار عن ابى هريرة(
“Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam”.

Oleh karena itu, anak kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan dîn al-Islâm walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.
Pengertian fitrah ketiga menurut Sunnah adalah fitrah berarti murni (al-ikhlaş). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari bahwa manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Pemkanaan ini didukung oleh Hadits Rasulullah SAW:
ثَلاَثٌ وَهِيَ الْمُنْجِيَاتُ اْلإِخْلاَصُ وَهِيَ فِطْرَةُ اللهِ الَّتِى فَطَرَالنَّاسَ عَلَيْهَا, وَالصَّلاَةُ وَهِيَ الْمِلَّةُ, وَالطَّاعَةُ وَهِيَ الْعِصْمَةُ.)رواه إبن حميدعن معاذ(

“Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu ikhlash berupa fitrah Allah di mana manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa benteng perniagaan. (H.R. Abu Hamid dari Mu'adz).”

Pengertian berikutnya dari fitrah menurut Sunnah adalah fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Pendapat tersebut dipegangi oleh Ibnu Abbas, Ka‘ab bin Qurodli, Abu Sa‘id al-Khudriy dan Ahmad bin Hanbal. Pengertiannya adalah bahwa manusia lahir dengan ketetapannya, apakah ia nanti menjadi orang yang bahagia ataukah menjadi orang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang diperoleh sejak manusia itu lahir. Ketetapan manusia selanjutnya disebut dengan fitrah, yang tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi eksogen apa pun termasuk pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan selalu baik walaupun pada awal perbuatannya sesat. Demikian pula sebaliknya apabila ketetapan asalnya sesat, ia akan menjadi orang yang sesat walaupun ia beraktivitas seperti orang yang baik.

Selanjutnya Abu Sa‘id al-Khudriy menukil sebuah Hadits Rasulullah SAW yang artinya: 
“Ingatlah bahwa anak cucu Adam tercipta atas enam tingkatan, yaitu: (1) Dilahirkan dalam keadaan mukmin, hidup sebagai seorang mukmin, dan matinya sebagai orang mukmin pula; (2) Dilahirkan dalam keadaan kafir, hidup sebagai orang kafir and matinya pun menjadi kafir; (3) Dilahirkan sebagai orang mukmin dan hidup menjadi seorang mukmin, tetapi matinya sebagai orang kafir; (4) Dilahirkan sebagai orang kafir, dan hidupnya menjadi orang kafir, tetapi matinya sebagai orang mukmin; (5) baik ketetapan hidupnya; dan (6) baik mata pencahariannya”. (HR. Abu Sa'id al-Khudriy).

Pengertian fitrah yang lainnya menurut Sunnah adalah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah SAW:
لَيْسَ مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتّىٰ يُعَبِّرَعَنْهُ لِسَانُهُ.)رواه مسلم عن معاوية(

“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya memalingkan padanya.” (HR. Muslim dari Mu'awiyah).

Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian fitrah tersebut ialah suci atau potensi, bahwa manusia lahir dengan membawa perwatakan (tabiat) atau potensi yang berbeda-beda. Watak itu dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang dapat menghantarkan pada ma'rifat kepada Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, ia dapat membedakan antara iman dan kafir karena ujud fitrah adalah qalb (hati) dapat menghantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apa pun, sedangkan syetan hanya dapat membisikkan kesesatan sewaktu anak telah mencapai usia akil balig.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik benang merahnya, bahwa fitrah merupakan potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk meneriman rangsangan (pengaruh) dari luar untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan. Walaupun fitrah manusia ini bukan satu-satunya potensi yang dimiliki, karena manusia juga memiliki potensi nafsu yang memiliki kecenderungan pada kejahatan, akan tetapi fitah ini perlu dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah manusia ini dapat tumbuh dan berkembang secara wajar, apabila mendapat suplay yang dijiwai oleh wahyu. Hal ini tentu harus didorong dengan pemahaman terhadap Islam secara kaffah. Maka benar apa yang dikatakan oleh Abdullah, semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada al-Islam, maka semakin baik pula perkembangan fitrahnya.[9]

C.     Fitrah Manusia dari Perspektif Beberapa Agama
1.      Agama Islam
Al-Qur’an menyebut manusia dengan tiga macam istilah, yaitu insan, basyar, dan bani Adam. Dua istilah yeng pertama yaitu insan dan basyar menunjukkan fitrah atau naluri manusia, yaitu pelupa dan memiliki perasaan. Sedang istilah ketiga, yakni bani Adam menunjukkan asal-usul kejadian manusia, yaitu dari Nabi Adam[10]
Manusia pertama yang dihidupkan di atas muka bumi ini oleh Allah SWT ialah Adam AS. Dalam Islam, manusia dikatakan berasal daripada tanah dan roh di mana unsur jasad dan roh telah  disatukan  untuk memberi nyawa kepada Adam AS. Zuriat bagi keturunan Adam AS pula bermula daripada nutfah. Nutfah bermaksud percantuman air mani lelaki di dalam rahim wanita. Yaitu  percantuman daripada ovum dan sperma dimana dalam berjuta-juta sperma  lelaki,  sperma yang terkuat sahaja akan dapat memasuki ke dalam ovum wanita. Proses ini juga juga di kenali sebagai survival  of the  fittest. Dengan demikian dari pendapat di atas, dapat di ketahui bahwa agama islam lebih menekankan pada proses penciptaan manusia. 
2.      Agama Hindu
Dalam  agama  Hindu  pada  umumnya,  konsep  yang dipakai adalah monoteisme.  Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang bererti "tak ada duanya". Konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap  bahawa Tuhan merupakan  pusat segala  kehidupan di  alam  semesta, dan  dalam  agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman. Brahman merupakan  pencipta  sekaligus  pelebur alam semesta. Brahman berada dimana-mana dan  mengisi  seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal  mula  dari  segala  sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta  tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Menurut pendapat dari agama hindhu, fitrah lebih menekankan pada proses pengaturan alam semesta dan Tuhan (Brahman) yang mengaturnya.

3.      Agama Budha
Konsep  tentang  kejadian  bumi  dan  manusia  menurut Buddha Dhamma agak unik.   Di alam semesta ini bukan  hanya ada bumi ini. Telah banyak bumi yang muncul dan hancur (kiamat). Manusia yang muncul pertama kali di  bumi  kita  ini tidak seorang, tetapi banyak, dan mereka muncul bukan kerana kemahuan satu makhluk tertentu. Di dalam Agama Sutta, Digha  Nikaya,  Sutta  Pitaka, Tipitaka, dapat dibaca bahawa bumi kita ini semuanya terdiri dari air dan gelap gelita. Makhluk-makhlukpun tidak dibedakan lelaki atau perempuan. Namun, mereka  memiliki tubuh yang bercahaya dan hidup melayang-layang di angkasa. Setelah waktu  lama sekali, tanah dengan sarinya muncul  dari dalam air dan rasanya seperti madu tawon mumi. Makhluk-makhluk yang serakah (tamak) mulai mencicipi tanah itu, dan tergiur akan sari tersebut. Makhluk-makhluk yang lain juga mengikuti. Akibat  kelakuannya itu, maka cahaya tubuh mereka lenyap, dan tampaklah matahari, bulan, bintang. Setelah  masa  yang  lama sekali, tubuh mereka memadat dan bentuknya ada yang indah dan ada yang buruk sesuai dengan takaran mereka makan sari tanah. Mereka yang indah memandang rendah kepada orang yang bentuk tubuhnya jelek. Lama kelamaan  sari  tanah pun lenyap dan muncullah tumbuhan dari tanah. Sementara mereka sombong dan bongkak, tumbuhan ini lenyap dan muncul tumbuhan menjalar, dan demikian seterusnya setelah tumbuhan menjalar lenyap, muncullah tanaman padi. Setelah waktu yang lama  sesuai dengan takaran mereka makan, maka tubuh mereka lebih memadat dan perbedaan bentuknya tampak lebih jelas. Dari kaca mata agama budha,lebih menjelaskan tentang proses kejadian langit dan bumi serta proses kejadian manusia.


4.      Agama Kristianai
Kejadian manusia (Adam) menurut Pentateuch (Torah) Dalam Kitab Genesis,  didapati manusia bukan  ciptaan Tuhan yang pertama. Jika dirujuk teliti di dalam Kitab Genesis, didapati manusia bukan ciptaan Tuhan yang pertama. Secara umum, proses  kejadian makhluk sebagaimana yang diuraikan dalam Kitab Genesis merangkumi enam hari. 
Hari pertama Tuhan mencipta siang dan malam. Hari kedua tuhan mencipta air. Hari ketiga Tuhan mencipta tumbuhan. Hari keempat Tuhan mencipta makhluk-makhluk di daratan dan juga di lautan. Hari kelima Tuhan mencipta bintang di angkasa. Pada hari  keenam, Tuhan mencipta manusia sebagaimana yang diungkapkan di dalam Genesis (1:26): “The God said, “Let Us make humankind in our image, according to our  likeness  and let them have dominion over the fish of the sea and over the birds of  the air and over the cattle and over all the wild animals of  the earth and over every creeping things that creeps upon earth”. Sedangkan pendapat dari agama kristiani, lebih menekankan pada penciptaan manusia.[11]












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Fitrah merupakan potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk meneriman rangsangan (pengaruh) dari luar untuk mencapai kebenaran dan kesempurnaan. Konsep fitrah menurut beberapa agama yaitu: 1) dari agama Islam lebih menekankan pada proses penciptaan manusia. 2) Menurut pendapat dari agama hindhu, fitrah lebih menekankan pada proses pengaturan alam semesta dan Tuhan (Brahman) yang mengaturnya. 3) Dari kaca mata agama budha,lebih menjelaskan tentang proses kejadian langit dan bumi serta proses kejadian manusia. 4) Sedangkan pendapat dari agama kristiani, lebih menekankan pada penciptaan manusia.
B.     Saran
Sesungguhnya setiap orang mempunyai potensi yang berbeda, tinggal bagaimana diri kita mengaplikasikan potensi tersebut agar menjadi hal yang bermanfaat bagi perkembangan diri kita dan lingkungan sekitar. Kembangkanlah potensi-potensi yang dianugrahkan oleh Allah SWT kepada kita agar nantinya potensi tersebut bisa berkembang dengan baik



[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‘an (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-1, hlm. 283.
[2] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir, Kamus Arabi-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), ed. ke-2, hlm.1063
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur'an, 1393/1973), cet. ke-1, hlm. 319
[4] WJS Purwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), cet. ke-12, hlm. 202. 
[5] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris (Jakarta: Gramedia, 1994), cet. ke-1, hlm.164. 
[6] Abdurrahman, Saleh Abdullah, Teori-teori pendidikan berdasarkan Al-Qur’an,(Jakarta:Rineka Cipta, 2005) hal. 64
[7] http://kuliahnyata.blogspot.com.au/2013/07/konsep-fitrah-dalam-al-quran_8004.html di akses pada tanggal 1 oktober 2015 pada pukul 20.26
[8] Mujib, Abdul& Mudzakir, Yusuf, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), 2008. Hal. 55
[9]http://kuliahnyata.blogspot.com.au/2013/07/konsep-fitrah-dalam-al-quran_8004.html di akses pada tanggal 1 oktober 2015 pada pukul 20.26
[10] Alim, Muhammad, Pendidikan Agama Islam, Upaya Pembentukan Pemikiran Dan Kepribadian Muslim (Bandung: Remaja Rosdakarya), 2006, hal. 68
[11] http://baihaqi-annizar.blogspot.co.id/2015/03/fitrah-manusia.html diakses pada tanggal 1 oktober 2015 pada jam 20.27