RESUME
A. Adat Mapati
Mapati adalah upacara yang diselenggarakan
pada saat bulan keempat masa kehamilan. Upacara mapati di dalam Islam saat usia
kandungan memasuki usia empat bulan dimana sang jabang bayi sudah ditiupkan
rohnya, saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) di mulailah
kehidupan dengan ruh, dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan
selanjutnya, di dunia sampai akhirat.
Prosesi mapati yang ada di daerah kabupaten Cilacap, dengan mengadakan
slametan di malam hari. Di dalam prosesi slametan itu membaca 7 surat-suratan
yang terdiri dari surat Yasin, surat Yusuf, surat Maryam, surat Waqiah, surat
Ar-Rahman, surat Luqman dan surat Alkhafi. Slametan ini dihadiri oleh kyai,
para tetangga dan juga sanak sodara untuk berdoa dan mendoakan ibu dan sang
jabang bayi. Juga sebagai permohonan kepada Allah, agar nanti anak yang sedang
dikandung bisa lahir sebagai manusia yang utuh, sempurna, sehat, selamat,
dianugerahi rezeki yang baik, panjang umur dan juga beruntung di dunia maupun
akherat nanti. Didalam acara slametan tersebut, disiapkan tumpeng yang berisi
semua hasil bumi sebagai rasa syukur kepada Allah swt, juga tidak ketinggalan
kupat dan urab.
“Sesungguhnya setiap orang di antaramu
dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya empat puluh hari berupa nutfah,
kemudian menjadi segumpal darah, (empat puluh hari kemudian), kemudian menjadi
segumpal daging selama itu pula (40 hari berikutnya). Kemudian diutuslah
kepadanya malaikat, lalu meniupkan ruh kepadanya dan diperintahkan atasnya menuliskan
empat hal; ketentuan rejekinya, ketentuan ajalnya, ketentuan amalnya, dan
ketentuan celaka atau bahagianya …” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut
di atas menjelaskan proses kejadian manusia:
·
40 hari pertama
berupa nutfah atau cairan kental,
·
40 hari kedua
menjadi ‘alaqah atau segumpal daging,
·
40 hari ketiga
menjadi mudhghah atau segumpal daging.
Proses di atas
apabila dihitung berdasarkan bulan sama dengan 4 bulan atau 120 hari. Dan pada
bulan ke-4 seperti itu Allah Swt mengutus malaikat guna meniupkan ruh ke dalam
janin yang terdapat di rahim ibunya. Dan momen ini seringkali diperingati oleh
masyarakat Islam dengan sebutan 4 bulanan.
Beberapa hal
yang menjadi landasan peringatan 4 bulan kehamilan, antara lain:
1. Sebagai tanda syukur seorang hamba kepada
tuhannya, Allah Swt yang telah memberikan anugerah dengan memberikan amanah
berupa seorang buah hati, anak.
2. Sebagai pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir) bagi janin yang
mulai hidup atau mulai diberi ruh, yang kelak bertujuan agar sang buah hati
menjadi anak yang shaleh/shalehah, faham agama, serta menjadi anak yang
mencintai dan mengamalkan alquran.
Niat baik
inipun harus disertai dengan cara-cara peringatan yang baik. Artinya peringatan
4 bulanan diisi dengan pembacaan ayat suci Alquran serta memanjatkan doa yang
baik. Bukan sebaliknya; melakukan ritual atau peringatan yang jauh dari
nilai-nilai keislaman semisal mandi kembang tujuh rupa atau membuat rujak yang
ditukar dengan uang dari genting meskipun untuk tujuan simbolik.
Di saat mengadakan
syukuran 4 bulanan, ayat alquran yang dibaca tidak terikat. Ayat apa saja
selama bersumber dari alquran , semuanya baik untuk dikumandangkan (dibaca).
Namun apabila ingin lebih spesifik dalam pembacaan ayat suci alquran ketika
syukuran 4 bulanan; dianjurkan untuk membaca surat Luqman yang berkisah tentang
pendidikan (surat nomor 31) tujuannya tentu saja mengambil ibrah dari
isi ayat surat tersebut. Khususnya surat 12 hingga 19 yang berkisah tentang
seorang ayah yang bernama Luqman kepada anaknya dengan pendidikan aqidah atau
keimanan, pendidikan ibadah, serta pendidikan akhlak.
Jangan lupa
untuk senantiasa memanjatkan doa yang baik untuk masa depan anak kita. Kita
memohon kepada Allah agar ditentukan rezeki yang halal, luas, berkah, dan mudah
dalam meraihnya. Serta agar anak kita diberikan umur yang berkah; senantiasa
dalam ketaatan, dan mampu memberikan manfaat kepada orang lain, tidak menjadi
orang yang pelit baik harta dan ilmu dan dimatikan dalam keadaan khusnul
khatimah.
B. Adat Mitoni
Acara 7 bulanan kehamilan dalam adat jawa disebut dengan
"mitoni", acara disebut juga dengan "tingkepan", berasal
dari bahasa jawa : sing dienti-enti wis mathuk jangkep (yang ditunggu-tunggu
sudah hampir sempurna) karena pada masa ini umur kandungan sudah mendekati masa
kelahiran. Disebagian daerah acara ini disebut dengan
"kabba" yang berarti membalik, karena pada usia kandungan ini, janin
yang berada dalam kandungan terbalik, kepalanya dibawah setelah sebelumnya
diatas. Dan biasanya pada acara tersebut disuguhkan makanan-makanan tertentu
yang dihidangkan bagi para tamu yang diundang.
Dalam pandangan fiqih, segala bentuk jamuan yang disuguhkan dan dihidangkan
dalam waktu-waktu tertentu, seperti saat pernikahan, khitan, kelahiran atau
atau hal-hal lain yang ditujukan sebagai wujud rasa kegembiraan itu dinamakan
walimah, hanya saja kata walimah biasanya diidentikkan dengan hidangan dalam
acara pernikahan (walimatul 'arus).
Semua ulama' sepakat bahwa selain walimatul 'arusy hukumnya tidak wajib,
namun menurut madzhab syafi'i mengadakan perjamuan/hidangan selain untuk
walimatul arusy hukumnya sunat, sebab hidangan tersebut dimaksudkan untuk
menampakkan nikmat Alloh dan sebagai wujud rasa syukur atas nikmat
tersebut, dan disunatkan pula untuk menghadiri undangan jamuan tersebut untuk
menyambung hubungan baik sesama muslim dan menampakkan kerukunan dan persatuan
. Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam bersabda:
لَوْ دُعِيتُ
إِلَى كُرَاعٍ لَأَجَبْت
Artinya:
“Seandainya aku
diundang untuk jamuan makan sebesar satu satu paha belakang (kambing), pasti
akan aku penuhi." (Shohih Bukhori, no.5178).
Dari sudut pandang ini, acara 7 bulanan hukumnya boleh, bahkan sunat
karena termasuk dalam walimah yang bertujuan untuk menampakkan rasa gembira dan
syukur akan nikmat Alloh berupa akan lahirnya seorang bayi. Terlebih lagi
apabila hidangan tersebut disuguhkan dengan mengundang orang lain dan diniati
untuk sedekah sebagai permohonan agar ibu yang mengandung dan bayi yang
dikandungnya terhindar dari mara bahaya. Para ulama' menyatakan bahwa hukum
sedekah adalah sunat, apalagi jika dilakukan pada saat-saat penting dan
genting, seperti pada bulan romadhon, saat terjadi gerhana, saat sakit, dan
lain-lain. Dalam satuh hadits diriwayatkan :
الصَّدَقَةُ
تَسُدُّ سَبْعِينَ بَابًا مِنَ السُّوءِ
Artinya:
"Besedekah
itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan". (Mu'jam Kabir
Lit-Thobroni, no.4402).
Untuk pertanyaan kedua, memang benar tidak ditemukan bahwa nabi pernah
mengerjakan acara seperti ini, karena memang ini adalah budaya suatu daerah,
namun hal ini tidak serta merta menjadikan acara ini dihukumi bid'ah
sayyi'ah/qobihah (bid'ah yang buruk). Karena bid'ah yang dianggap buruk apabila
bertentangan dengan ajaran dan aturan dalam agama islam, sedangkan apabila
tidak melanggar, atau bahkan malah mendapatkan payung hukum dari agama, maka
termasuk dalam bid'ah hasanah (bid'ah yang baik). Jadi, selama
dalam prosesi acaranya tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dalam agama,
acara ini tidak bisa dikategorikan dalam bid'ah
sayyi'ah/qobihah. Imam
Asy-Syafi'i rohimahulloh berkata:
ما أحدث وخالف
كتابًا أو سنة أو إجماعًا أو أثرًا فهو البدعة الضالة، وما أحدث من الخير ولم
يخالف شيئًا من ذلك فهو المحمود
Artinya:
"Hal-hal yang baru yang menyalahi Alqur'an
As-sunnah,Ijma'(kesepakatan Ulama'),atau atsar maka itu bid'ah yang
menyesatkan .Sedangkan suatu hal yang baru yang tidak menyalahi salah
satu dari keempatnya maka itu(bid'ah)yang terpuji".
Kesimpulan akhirnya, acara 7 bulanan atau tingkipen itu memang tak ada
dalil khususnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Nabi, namun boleh dikerjakan,
bahkan hukumnya sunat apabila dikerjakan untuk menampakkan rasa gembira dan
syukur atas nikmat Allah, apalagi bila disertai dengan sedekah. Dan tentu saja
acara ini diperbolehkan selama tidak terdapat hal-hal yang dilarang dalam
prosesi acara tersebut. Wallahu a'lam.
Secara
khusus tidak ditemukan dasar dalam syariat. Hanya saja, dalam fikih disampaikan
bahwa apabila dalam kegiatan tersebut tidak terdapat hal-hal yang dilarang
agama bahkan merupakan kebajikan seperti sodaqoh, qiro'atul qur'an dan sholawat
kepada Nabi serta tidak meyakini bahwa penentuan waktu itu adalah sunnah, maka
hukumnya diperbolehkan.
C. Tasmiyah
Seorang anak wajib diberi nama pada hari ke
tujuh dari kelahirannya dalam rangka menjalankan perintah Nabi SAW dalam
beberapa hadits yang shahih diantaranya : Sabda sabda Rasulullah yang artinya
:“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari kelahirannya,
diberi nama dan dicukur rambutnya” (HR. An Nasa’I dan At Tirmidzi) Namun
sebahagian ulama membolehkan untuk memberikan nama sebelum hari ketujuh
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari ia
berkata : “Dilahirkan untukku seorang anak maka aku membawanya kepada Nabi r
maka beliau memberinya nama Ibrahim” (HR. Bukhari).
Seorang anak wajib diberi nama pada hari ke
tujuh dari kelahirannya dalam rangka menjalankan perintah Nabi SAW dalam
beberapa hadits yang shahih diantaranya : Sabda sabda Rasulullah yang artinya
:“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari kelahirannya,
diberi nama dan dicukur rambutnya” (HR. An Nasa’I dan At Tirmidzi) Namun
sebahagian ulama membolehkan untuk memberikan nama sebelum hari ketujuh
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari ia
berkata : “Dilahirkan untukku seorang anak maka aku membawanya kepada Nabi Saw
maka beliau memberinya nama Ibrahim” (HR. Bukhari) Tasmiyah (Pemberian Nama)
Seorang anak wajib diberi nama pada hari ke tujuh dari kelahirannya dalam
rangka menjalankan perintah Nabi SAW dalam beberapa hadits yang shahih
diantaranya : Sabda sabda Rasulullah SAW : “Setiap anak tergadai dengan
aqiqahnya yang disembelih pada hari kelahirannya, diberi nama dan dicukur
rambutnya” (HR. An Nasa’I dan At Tirmidzi) Namun sebahagian ulama membolehkan
untuk memberikan nama sebelum hari ketujuh berdasarkan hadits yang diriwayatkan
dari shahabat Abu Musa Al Asy’ari ia berkata : “Dilahirkan untukku seorang anak
maka aku membawanya kepada Nabi SAW maka beliau memberinya nama Ibrahim” (HR.
Bukhari)
Memberikan nama merupakan suatu hal yang tidak
diperselisihkan di masyarakat bahwasanya ayah dari anak tersebutlah yang lebih
berhak memberikan nama dari pada ibunya. Allah SAW berfirman : “Panggillah mereka dengan (menggunakan) nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah” (QS. Al Ahzab :5)
dan seorang anak itu dinasabkan kepada nama ayahnya bukan ibunya maka dikatakan
fulan bin fulan bukan fulan bin fulanah –Wallahu A’lam-
Siapa
yang berhak memberikan nama ?
Merupakan suatu hal yang tidak diperselisihkan
di masyarakat bahwasanya ayah dari anak tersebutlah yang lebih berhak
memberikan nama dari pada ibunya. Allah
SAW berfirman : “Panggillah mereka dengan (menggunakan) nama bapak-bapak
mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah” (QS. Al Ahzab :5) dan seorang
anak itu dinasabkan kepada nama ayahnya bukan ibunya maka dikatakan fulan bin
fulan bukan fulan bin fulanah –Wallahu A’lam-
Beberapa
nama yang utama
Disunnahkan bagi keluarga anak untuk memilihkan nama-nama yang
paling dicintai Allah Swt dan yang
semisal dengannya dari nama-nama yang baik untuk anak mereka. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
لَمْ
يُدْرِكْ أَبَا الدَّرْدَاءِ
(رواه أبو داود)
Sesungguhnya kalian di hari kiamat kelak akan dipanggil dengan nama-nama
kalian dan nama ayah-ayah kalian, maka perbaikilah nama-nama kalian” (HR. Abu Daud) Dan diantara nama-nama tersebut adalah Abdullah dan
Abdurrahman, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya nama yang paling dicintai
Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” (HR. Muslim) Berkata Al Allamah Ibnu
Hazm “Ulama telah sepakat mengangap baik semua nama yang disandarkan kepada
nama Allah seperti Abdullah dan Abdurrahman dan yang semisalnya” (Lihat Tuhfatul
Wadud :80).
Beberapa
nama yang dilarang
Telah datang keterangan tentang beberapa nama yang dilarang
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Berkata Ibnu Hazm :
“Telah disepakati atas haramnya untuk menggunakan nama-nama yang menunjukkan
penghambaan kepada selain Allah seperti Abdul Uzza, Abdu Habl, Abdu Amrin,
Abdul Ka’bah dan semacamnya”. Rasulullah SAW bersabda : “Celakalah Abdud Dinar
(hamba dinar), dan Abdud Dirham (hamba dirham), dan Abdul Khomishoh (hamba
khomishoh)” (HR. Bukhari) Dan termasuk hal yang dilarang adalah memberi nama
dengan nama-nama Al-Qur’an atau nama surahnya seperti Toha, Yaasiin atau
Haamiim, dan diharamkan pula menggunakan nama-nama Allah yang khusus bagi-Nya,
berkata Imam An Nawawi “…..demikian pula (haram) memakai nama dengan nama-nama
Allah Ta’ala yang khusus seperti Ar Rahman, Al Quddus, Al Muhaimin, Khalikul
Khalk dan semisalnya” (Lihat Syarhu Shahih Muslim 14:368).
Beberapa
nama yang dimakruhkan
Adapun beberapa nama yang dimakruhkan
diantaranya :
1. Rabah, Yasar, Aflah atau Nafi’ hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Janganlah engkau menamakan anakmu dengan
Rabah, Yasar, Aflah atau Nafi’” (HR. Muslim)
2. Nama-nama syaithan (seperti : Khanzab, Wahl,
A’ur Ajda’ atau Hubab), Rasulullah SAW bersabda : “Saya mendengar Rasulullah
Saw bersabda : “Ajda’ (adalah nama) Syaithan” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
3. Nama raja-raja yang dholim (seperti : Fir’aun,
Waliid atau Korun), diriwayatkan bahwa “Seorang laki-laki bermaksud memberikan
nama kepada anaknya “Waliid”, maka Rasulullah Saw melarangnya, dan beliau
bersabda : “Sesungguhnya suatu saat akan ada seorang laki-laki yang bernama
Waliid, ia akan melakukan suatu perbuatan pada ummatku sebagaimana perbuatan
Fir’aun terhadap kaumnya” (HSR. Abdurrazzaq)
4. Nama-nama yang mempunyai makna yang di jelek
(seperti : Murrah (pahit), Kalb (anjing) atau Hayyah (ular)), Rasulullah SAW
bersabda : “Gifar” (pengampunan) semoga Allah mengampuninya, “Aslam”
(keselamatan) semoga Allah memberinya keselamatan dan “‘Usayyah” (penghianat)
semoga Allah dan rasul-Nya menghianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim) Berkata
Imam At Thabari رحمه
الله : ”Tidak boleh
memberi nama dengan nama yang jelek maknanya, tidak pula nama yang mengandung
tazkiyah (pensucian diri) bagi yang diberi nama dan tidak boleh pula dengan
nama yang bermakna celaan. Walaupun nama itu hanya tanda bagi tiap individu,
bukan dimaksudkan hakikat sifat, akan tetapi sisi kemakruhan (pengharaman -pen)
memberi nama dengan hal-hal di atas karena orang yang mendengar nama tersebut
akan menyangka bahwa itu merupakan sifat bagi yang diberi nama. Karena itulah Nabi r mengganti nama yang jelek kepada nama yang
baik”
Berkata syaikh Al Albani : “Dengan demikian
kita tidak boleh memberi nama degan Izzuddin (pemulia agama), Muhyiddin
(penghidup agama), Nasiruddin (penyelamat agama) dan semisalnya” (Lihat Ash
Shahihah 1:3379)
Penggantian Nama
Disunnahkan untuk mengganti nama-nama yang jelek, dibenci atau
untuk suatu maslahat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwasanya Nabi Saw
mengganti nama A’shiah (pelaku maksiat), beliau bersabda : “Anda adalah Jamilah
(yang Indah)” (HR. Muslim) Dan di hadits lainnya diriwayatkan bahwasanya telah
datang sekelompok orang menemui Rasulullah Saw dan
satu diantara mereka bernama “Ashram” , Rasulullah SAW bersabda :“Siapakah nama
anda?” ia menjawab “Ashram”, lalu Rasulullah bersabda : “Bahkan kamu adalah
Zur’ah (HSR. Abu Daud)
Memberi Kuniah pada anak
Kuniah adalah nama yang dimulai dengan “Abu”
kalau yang berkuniah itu laki-laki seperti Abu Abdillah atau Abu Ibrahim, dan
dimulai dengan “Ummu” kalau wanita seperti Ummu Abdillah atau Ummu Ibarahim,
dan lain-lain. Dibolehkan memberi kuniah pada anak kecil berdasarkan sabda
Rasulullah SAW kepada seorang anak kecil :“Wahai Abu Umair apa yang dilakukan
burung kecil itu ?” (HR. Bukhari
dan Muslim) Bahkan Imam Al Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini yang ia
namakan “Bab Kuniah untuk anak kecil dan sebelum seseorang memiliki anak”
Dan siapa yang yang belum berkuniah pada waktu
kecilnya maka tidak perlu ia menunggu hingga punya anak untuk berkuniah, hal
ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Shuhaib , yang artinya :
“Umar ra. berkata kepada Shuhaib RA: “Engkau adalah lelaki yang sempurna andai
tidak ada padamu tiga perangai ?” Shuhaib berkata : “Apa itu ?” Umar menjawab :
“Engkau memakai kuniah padahal tidak punya anak, ………” Shuhaib berkata : “Adapun
ucapanmu, engkau berkuniah padahal tidak punya anak, maka sesungguhnya
Rasulullah r memberiku kuniah dengan Abu Yahya, ……..” (HHR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya berkuniah, dan kuniah
itu tidak terkait dengan adanya anak-anak. Berkata syaikh Al Albani setelah
menyebutkan hadits diatas : “Dalam hadits ini adalah dalil disyariatkannya
berkuniah bagi orang yang belum mempunyai anak, bahkan telah shahih dalam
shahih Al Bukhari dan selainnya bahwasanya Nabi bersabda (yang artinya):
“Beliau memberi kuniah pada anak wanita kecil ketika beliau
memakaikannya baju bagus kepadanya. Beliau berkata kepada anak itu : “Ini bagus
wahai Ummu Khalid, ini bagus wahai Ummu Khalid”(Lihat Silsilah Ash Shahihah
1:74)
Boleh seseorang yang punya anak berkuniah dengan nama lain selain
nama anak-anaknya. Abu Bakar Ash Shiddiq berkuniah dengan Abu Bakar padahal
tidak ada anaknya yang bernama Bakar dan Umar ibnul Khattab berkuniah dengan
Abu Hafsh padahal tidak ada putranya yang bernama Hafsh Kaum muslimin telah
meninggalkan sunnah Arabiyah Islamiyah ini. Maka jarang sekali kita dapatkan
yang memakai kuniah walaupun ia memiliki banyak anak. Lalu bagaimana lagi
keadaannya orang yang tidak punya anak tentunya lebih jauh dari berkuniah.
Larangan berkuniah dengan Abul Qasim Larangan berkuniah dengan Abul Qasim ini
dikhususkan kepada orang yang menggunakan nama “Muhammad”, berdasarkan sabda
Rasulullah SAW : Pakailah nama dengan namaku dan janganlah kalian berkuniah
dengan kuniahku” (HR. Al Bukhari dan Muslim) Dan di hadits lainnya Rasulullah
SAW bersabda :“Janganlah kalian mengumpulkan antara namaku dan kuniahku” (HR.
Ahmad)
No comments:
Post a Comment