MAKALAH ULUMUL QUR’AN
“ILMU QIRAAT ALQURAN”
Disusun
oleh:
Ahmad
Ainurrizal
(141310003100)
Fakultas
Tarbiyyah dan Ilmu Keguruan
UNIVERSITAS
ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU)
JEPARA
TAHUN
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah bertema ”Ilmu Qiraat”
sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Ulumul Qur’an
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan begitu banyak
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada siapa saja yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan
manfaat dalam segala bentuk belajar mengajar, Sehingga dapat mempermudah
pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang akan menjadikan makalah
ini lebih baik.
Jepara, Juli 2015
Penyusun
Daftar
isi
Kata pengantar......................................................................................................... i
Daftar isi.................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................... 4
A.
Latar
Belakang............................................................................................. 4
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 4
C.
Tujuan
Penulisan.......................................................................................... 4
D.
Manfaat
Penulisan....................................................................................... 4
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................... 5
A.
Pengertian
Qiraat......................................................................................... 5
B.
Teori
Asal-Usul Qiraat................................................................................. 6
C.
Pengertian Al-Qur’an
Dengan 7 Huruf..................................................... 10
D.
Macam-Macam
Qiraat............................................................................... 11
E.
Tolok
Ukur Validitas Qiraat...................................................................... 13
F.
Impliaksinya
Dalalm Penafsiran................................................................ 14
BAB III PENUTUP................................................................................................ 17
A.
Kesimpulan................................................................................................ 17
B.
Saran.......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa
Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di
sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah)
yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu
tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing
suku. Namun, disamping setiap suku memiliki dialek yang berbeda-beda, mereka
telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language)
dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk
interaksi lainnya. Dari kenyataan diatas, sebenarnya kita dapat memahami
mengapa Al-Qur’an diturunkan denga menggunakan bahasa Quraisy.
Disisi
lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa
konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan
Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri, dengan melihat
gejala beragam dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya fenomena
yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri
membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Sabdanya
“Al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza
Al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)” dan hadits-hadits lain yang sepadan dengannya,
kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan
hadits itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, tetapi konteks hadits itu
sendiri memberikan peluang Al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah
Seni
membaca Alquran boleh dibilang merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam
Islam. Ibnu Manzur menyatakan, ada dua teori tentang asal mula munculnya seni
membaca Alquran.
Pertama,
berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, terinspirasi dari
nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut
menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah tradisional Arab.
Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya bernuansa
irama Arab.
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait boleh tidaknya membaca Alquran
dengan cara dilagukan. Dr Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya berjudul al-Bayan fi
Hukm at-Taghanni bi Alquran mengatakan, ada ulama yang membolehkan dan ada pula
yang memakruhkan
Ulama
yang memakruhkan, kata Dr Basyar, antara lain, Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin
Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan
al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha’i. Opsi ini juga menjadi rujukan
sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah.
Sedangkan,
ada pula ulama yang membolehkan membaca Alquran dengan tilawah atau tartil
berikut macam-macam lagunya. Mereka, antara lain, Abu Hanifah, Syafi’i,
Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan
Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Menurut
Dr Basyar, sahabat Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan
lainnya juga membolehkan Alquran dibaca dengan cara dilagukan. Syekh Rasyid
Ridha, Syekh Labib as-Sa’d, dan Dr Abd al-Mun’im al-Bahi merupakan ulama
kontemporer yang mendukung diperbolehkannya membaca Alquran dengan cara
dilagukan.
Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar karena Al-Qur’an
diturunkan ke tengah-tengah umat yang berbahasa Arab melalui Nabi yang
berbahasa arab pula. Keadaan Al-Qur’an dalam bahasa Arab dijelaskan oleh
Al-Qur’an sendiri, antara lain
“Sesungguhnya, kami
menurunkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf
(12):2)
“Dengan bahasa Arab
yang jelas”. (QS. Syu’ara (26):195)
Berdasarkan dua ayat di
atas, jelas bahwa bahasa yang digunakan Al-Qur’an adalah bahasa Arab asli,
sekalipun bukan berarti bahwa Al-Qur’an diturunkan khusus untuk bangsa Arab.
Sebab, berdasarkan keterangan Al-Qur’an sendiri dan praktek Nabi, agama Islam
yang sumber pokoknya Al-Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia. Dengan
demikian, mengenai Al-Qur’an berbahasa Arab itu sendiri terdiri dari berbagai
rumpun, masalahnya bahasa Arab itu sendiri terdiri dari berbagai rumpun; apakah
Al-Qur’an menggunakan semuanya atau hanya menggunakan rumpun tertentu?
Lagi pula sejak dulu
bangsa Arab mempunyai dialek yang amat banyak, yang mereka dapatkan dari
fitrahnya dan sebagiannya mereka ambil dari tetangga mereka. Tidak diragukan
lagi bahasa Quraisy amatlah terkenal dan tersebar luas. Hal ini disebabkan
kesibukan mereka berdagang dan keberadaan mereka di sisi Baitullah ditambah
lagi kedudukan mereka sebagai penjaga dan pelindungnya.
Orang-orang Quraisy
memang mengambil sebagian lahjah (dialek) dan kalimat-kalimat
yang mereka kagumi dari orang-orang luar selain mereka. Telah menjadi tabiat
bahwa Allah ‘Azza wa Jala menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa
yang dapat dipahami oleh bangsa Arab seluruhnya dengan maksud untuk mempermudah
memahaminya, membaca dan menghafalnya, mengandung nilai mukjizat serta ajakan
bertanding keapda para pakar sastra untuk mendatangkan satu surat atau bahkan
satu ayat sekalipun.
Karena adanya berbagai
macam rumpun dan lahjah bahasa Arab itulah barangkali yang kemudian memunculkan
adanya berbagai macam qiro’at dalam membaca Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian qira’at ?
2. Bagaimana teori asal-usul qira’at ?
3. Bagaimana pengertian Al-Qur’an dengan 7 huruf ?
4. Apa macam-macam qira’at ?
5. Bagaimana tolok ukur validitas qira’at ?
6. Bagaimana implikasinya dalam penafsiran ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian, asal-usul dan macam-macam qira’at
2. Mengetahui tolok ukur validitas qira’at
3. Mengetahui implikasi dalam penafsiran Al-Qur’an
D. Manfaat Penulisan
Agar dapat menambah
wawasan lebih dalam lagi tentang qira’at atau perbedaan cara dalam pelafalan
Al-Qur’an, supaya nantinya tidak terjadi perdebadan tentang kebenaran dalam
pelafalan Al-Qur’an karena sesungguhnya memang ada banyak cara dalam pelafalan
Al-Qur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qira’at
Al-Qira’at, jamak dari qira’atan,
mashdar dari qara’a, yaqra’u, qira’atan. Menurut
arti istilah ia berarti; Mazhab pembacaan Al-Qur’an dari para imam qurra’ yang
masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim dan
disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. (Ash-Shabuni,
2001: 357)
Al-Qur’an dan Qira’at adalah dua kata yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk menerangkan kepada manusia
risalah ilahi dan sebagai bukti kebenaran risalahnya. Sedangkan Qira’at adalah
cara membaca lafal-lafal tertulis dalam mushaf, baik dengan meringankan
bacaannya (takhif) ataukah dengan menggandakan (tasydid). Wahyu hanya satu dan
berasal dari Allah. Sedangkan cara penulisannya atau bacaan dan pengucapannya
boleh berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan adanya “Qira’at Tujuh” yang oleh para
ulama di nilai mutawatir riwayatnya. (Tim UII, Mukadimah, 2004:28)
Dari keterangan ringkas di atas dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan
esensiil antara Al-Qur’an dengan Qira’at adalah:\
1. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang terjamin keaslian dan kemurniaannya
semenjak turun kepada nabi sampai ke akhir zaman. Sedang Qira’at adalah cara
membaca Al-Qur’an itu.
2. Pada Al-Qur’an tidak sedikit pun terselip keraguan, sedangkan Qira’at
terdapat perbedaan antara satu riwayat dengan yang lain. Perbedaan qira’at
tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kemurnian Al-Qur’an, Sebab bagaimanapun
juga, bahasa Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an itu menuliskannya dengan huruf
yang belum sempurna, yang belum dilengkapi dengan baris, tanda baca dan
sebagainya. Namun jelas mereka paham dengan tulisan-tulisan yang ada yang
sesuai dengan pengambilan langsung secara lisan dari para huffaz yang
mengajarkan Al-Qur’an
B. Teori Asal-Usul Qira’at
Para ulama telah banyak
mencoba menjelaskan tentang asal-usul munculnya qiro’ah ini. Yang pada umumnya,
mereka bersandar pada latar belakang linguistik dan hadits-hadits Nabi yang
menerangkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf.
1. Latar belakang linguistik
Di zaman Jahiliyah, orang Arab mempunyai beberapa bahasa (dialek) yang
berbeda terutama dalam pengucapannya. Akan tetapi, mereka tetap mengutamakan
bahasa Quraisy yang dengan bahasa itu Allah menurunkan Kitab Suci-Nya. Bahasa
Quraisy mengatasi semua dialek yang hidup di jazirah Arabia yang jumlahnya
sampai puluhan. Hal ini karena beberapa faktor antara lain: (Tim UII,
Mukadimah, 2004:18)
a. Kota Mekah (yang memakai bahasa Quraisy) adalah pusat perniagaan dan pusat
kegiatan sosial, budaya dan agama. Ini karena di kota Mekah ada rumah suci
(Baitullah atau Ka’bah) dan karena banyaknya penguasa-penguasa Arab yang
berasal dari kota itu.
b. Bahasa Quraisy adalah bahasa yang paling kaya dengan kata asing yang di
Arabkan, sedangkan pada dialek lain tidak banyak menyerap kata asing itu. Tidak
mengherankan kalau Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab Quraisy yang kaya dengan
bahasa asing sehingga memudahkan pengertian orang. Apa lagi di kota Mekah
berkumpul ahli bahasa, sastrawan dan ahli-ahli pidato. Tidak mengherankan, bila
kabilah-kabilah Arab yang di sekitar kota Mekah terpengaruh dialek Quraisy yang
beda dengan dialek lain. Lama kelamaan menimbulkan perbedaan dalam membaca
Al-Qur’an sekali pun tidak merusak makna ayat yang mereka baca.
Dari latar belakang linguistik itulah akhirnya timbul suatu istilah yang
terkenal dengan “Qira’at Tujuh” (Qira’at Al-Qur’an yang dinisbatkan pada Imam
Tujuh).
2. Latar belakang hadits Nabi
Di dalam hadis-hadis
sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah terdapat keterangan bahwa Al-Qur’an itu
diturunkan pula dalam tujuh huruf. Kita kemukakan beberapa hadis berkenaan
dengan masalah ini.
a. Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu ‘Abbas.
Artinya: “Rasulullah bersabda: “Jibril membacakan Al-Qur’an dengan satu
huruf kepadaku, maka aku (senantiasa) mengulang-ulangnya. Maka senantiasa aku
minta (kepada Jibril) agar dia menambahkannya (lagi), Jibril pun berkehendak
menambahkan kepadaku sampai berakhir kepada tujuh huruf. Muslim menambahkan
(dalam riwayatnya), berkata Ibnu Syihab: “Disampaikan kepadaku bahwa yang tujuh
(huruf) itu mengenai satu hal dan tidak berbeda ia dalam (menetapkan) hukum
halal dan haram.
b. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, ujarnya:
Artinya: “Umar berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah Al
Furqan pada masa nabi (masih) hidup. Maka aku dengar (perhatikan) bacaannya,
maka tiba-tiba ia membaca surah Al Furqan itu dengan berbagai macam bacaan yang
belum (pernah) Rasulullah membacakannya kepadaku. Maka hampir saja aku
menyerangnya ketika (ia) salah dan aku menunggunya sampai ia mengucapkan salam,
kemudian aku tarik leher bajunya maka aku tanyakan: “Siapakah yang membacakan
kepada engkau surah Al Furqan ini (dengan bacaan seperti itu) yang saya
mendengar engkau membacanya. Ia berkata: “Rasulullah saw. yang membacakannya
kepadaku. Aku berkata (membantah kepadanya: “Engkau dusta.” Sesungguhnya
Rasulullah saw. Membacakan surah ini kepadaku berbeda dengan apa yang engkau
baca. Maka aku (Umar) segera berangkat dengannya mengadukan persoalannya kepada
Rasulullah saw. Maka aku berkata: “Sesungguhnya saya mendengar Hisyam (ini)
membaca surah Al Furqan atas huruf-huruf yang tidak (pernah) engkau
membacakannya kepadaku. Maka Rasulullah bersabda: “Lepaskan dia (Hisyam) (dan
setelah Hisyam berada di hadapan Rasulullah saw.), beliau berkata: “bacalah ya
Hisyam! Maka ia pun membacakan qira’at yang telah aku dengar itu, maka
Rasulullah bersabda: “Demikianlah Al-Qur’an itu diturunkan. Kemudian Rasulullah
bersabda: “bacalah hai Umar! Maka aku membacakan qira’at yang telah dibacakan
kepadaku. Maka Rasulullah bersabda: “Demikianlah (Al-Qur’an) diturunkan,
sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, maka hendaklah kamu
membaca (Al-Qur’’an) dengan memakai bacaan (qira’at) yang mudah daripadanya.
c. Hadis riwayat Muslim dari Ubay
Artinya: “Dan Ubay bin Ka’ab berkata: Aku sedang berada di masjid,
kemudian termasuklah seorang laki-laki membacakan ayat dengan qira’at yang
tiada aku mengenalnya. kemudian masuk pula laki-laki lain, maka ia pun membaca
qira’at yang berbeda dengan qira’at sahabatnya, maka kami berdiri semua lain
mendatangi (ramah) Rasulullah saw. Maka aku berkata: Sesungguhnya laki-laki ini
membaca (Al-Qur’an) dengan qira’at yang tidak aku kenal dan masuk pula
laki-laki lain, maka ia membaca yang lain dari sahabatnya (berbeda). Kemudian
Rasulullah memerintahkan membaca kepada kedua (laki-laki) itu, maka mereka pun
membaca qira’atnya (masing-masing). Lalu nabi bersabda: Kalian bedua benar,
setelah nabi mengatakan kepada keduanya tentang bacaannya benar, maka merasa
berat padaku dan tiadalah aku seperti pada zaman Jahiliyah lagi. Maka ketika
Rasulullah melihat (ada sesuatu) yang menyebabkan aku murung, lalu beliau
memukul dadaku, hingga mengalir keringatku dan seolah-olah aku melihat Allah
swt. berbeda (dari sebelumnya). Rasulullah berkata: Hai Ubay, diperintahkan
kepadaku agar aku membaca dengan satu huruf. Maka aku memohon kepada-Nya agar
diberi kemudahan bagi umatku. Maka ia menjawab kedua kalinya (agar) aku membaca
Al-Qur’an dengan dua huruf, maka aku mengulangi lagi (permintaanku) agar
memberi keringanan lagi buat umatku. Maka ia menjawab ketiga kalinya (dan
memerintahkan): “Bacalah Al-Qur’an itu dengan tujuh huruf dan engkau berhak
memohonkan permintaan yang engkau minta kepada-Ku.” Maka aku berdoa: “Wahai
Allah! ampunilah umatku, ampunilah umatku dan aku mengundurkan (doa yang ketiga
kalinya) sampai pada hari di mana setiap orang senang kepadaku, sampai kepada
Nabi Ibiahim as.
Sebagian ulama
menetapkan bahwa hadis tentang Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf adalah
hadis-hadis mutawatir (lafzy). Bahkan Jumhur Ulama cenderung mengatakan mushaf
Usman pun memuat tulisan Al-Qur’an dengan tujuh huruf itu. Diriwayatkan oleh
Muslim dari Ubay bin Ka’ab bahwa kedatangan Jibril kepada Nabi saw. yang
menyuruh beliau membaca Al-Qur’an dengan satu huruf. Rasulullah bermohon ampun
dan maaf kepada Allah sebab umat beliau tiada sanggup dengan satu cara itu
saja. Untuk kedua kalinya Allah memerintahkan nabi membacakan Al-Qur’an dengan
dua cara dan beliau pun masih memohonkan ampun dan maaf kepada Allah karena
dengan dua cara itu pun masih terasa berat bagi umat beliau. Untuk ketiga
kalinya Jibril datang membawa pesan Allah agar beliau membacakan Al-Qur’an
dengan tiga cara dan beliau pun masih mohon keringanan. Maka pada kali yang
keempat Jibril datang dan mengabarkan bahwa Allah memerintahkan beliau
membacakan Al-Qur’an dengan tujuh cara. Membaca Al-Qur’an dengan ketujuh cara
itu benar.
Dari beberapa hadis
(terutama dua hadis terakhir di atas) dapatlah disimpulkan bahwa dengan adanya
qira’at Al-Qur’an yang macam-macam (Sab’atu Ahruf) Allah bermaksud memberikan
kemudahan bagi umat Islam yang tidak seluruhnya dapat membaca Al-Qur’an dengan
sempurna. Kemudahan tersebut menunjukkan bahwa Islam dalam hal membaca
Al-Qur’an dengan bahasa Arab tersebut, tidak memberikan beban yang berat.
C. Pengertian Al-Qur’an Dengan 7 Huruf
Dijelaskan oleh
Ash-Shabuni (2001:346) bahwa kata “ahruf” adalah bentuk jamak dari “harfun”
yang oleh pengarang kamus diartikan sebagai ujung atau pinggir sesuatu, atau
puncak (gunung). Akan tetapi ada pula yang mengartikannya sebagai “ragu” atau
“tepi”, mengingat firman Allah ‘Azza wajalla: “Di antara manusia
ada orang yang menyembah Allah dipinggir-pinggir (dalam keraguan)…
“(QS. Al-Haj: 11), yakni menyembah-Nya hanya di waktu makmur. Tetapi waktu
krisis, tidak. Atau menyembah-Nya dengan tidak tenang, yakni tidak masuk ke
dalam agama Allah dengan teguh. Adapun yang dimaksudkan “Al-Qur’an itu diturunkan
atas tujuh huruf”, yaitu tujuh bahasa dari bahasa-bahasa bangsa Arab. Bukan
berarti tujuh huruf seperti yang kita tahu di mana Al-Qur’an itu datang dengan
dua puluh tujuh huruf atau lebih, melainkan sekali lagi artinya adalah bahwa
tujuh bahasa yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an.
Dari uraian di atas,
kita tahu bahwa kata “huruf” mempunyai banyak arti, namun yang dikehendaki
adalah satu yang sesuai dengan qarinah dan maqam. Dengan
demikian yang dimaksudkan huruf adaJah “wajhun/segi”, ini berdasarkan
dalil sabda beliau: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf (wajah
bacaan)”, untuk memperluas dan mempermudah, sehingga ucapan itu akan
berarti: “Al-Qur’an diturunkan dengan luas yang di dalamnya pembaca dapat
membacanya dengan tujuh wajah (bacaan). Dengan wajah manapun dia hendak
membacanya”, atau seolah-olah Rasulullah Saw. itu bersabda: “Sedemikian luasnya
Al-Qur’an itu diturunkan”.
Memang disini banyak
terdapat perselisihan pendapat dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan 7
huruf tersebut. Namun pendapat bahwa 7 huruf adalah 7 wajah bacaan adalah cukup
kuat. Yang menjadi persoalan juga disini adalah apakah bilangan 7 itu mutlak?
Ternyata, dalam tradisi bahasa Arab, kata 7 menunjukkan pengertian “tawassul”
(bilangan yang tak terhingga). Dengan demikian, bilangan 7 disini bisa
diartikan sebagai bilangan yang bermakna lebih dari 7.
D. Macam-Macam Qira’at
Diatas telah
diterangkan mengenai teori asal usul munculnya macam-macam qira’at yaitu bahwa
bahwa sekelompok orang tertentu di zaman Rasul menekuni bacaan (qira’at)
Al-Quran, mengajarkan dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui
ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad s.a.w.,
kemudian menghafalkannya. Dan terkadang mereka membaca ayat-ayat itu di hadapan
Nabi agar disimak.
Sebagian mereka menjadi
guru. Orang-orang yang belajar qira’at kepada mereka
meriwayatkannya dengan menyebutkan sanad-nya dan mereka sering menghafalkan qira’at yang
diriwayatkan dari seorang guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang
sesuai untuk masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah
tulisan kufi. Dalam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan
beberapa cara. Oleh karena itu, harus belajar langsung kepada guru, kemudian
menghafalkan dan meriwayatkan.
Selain itu, kebanyakan
orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa tulis-baca dan belum mengenal
cara menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara ini juga terus
diikuti dalam masa-masa berikutnya.
Kelompok pertama
para qurra’ adalah para qurra’ dari kalangan
sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup beliau. Mereka itu
antara lain yang terkemuka adalah Usman, Ali, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. (Thabathaba’i, 1992:135)
Kelompok kedua adalah
murid-murid dari kelompok pertama. Mereka ini adalah dari generasi tabi’in dan
mempunyaihalqah (kelas belajar) di kota-kota Makkah, Madinah,
Kufah, Basrah dan Suriah. Ke kota-kota inilah Mus-haf Imam dikirimkan.
Kelompok ketiga adalah
para qurrai yang hidup kurang lebih pertengahan pertama abad
kedua hijrah. Mereka itu adalah sekelompok imam qurra’ yang
belajar kepada kelompok kedua.
Di antara para qurra’ kelompok
ketiga yang paling banyak dikenal adalah tujuh orang imam qira’at.
Mereka ini menjadi rujukan dalam ilmu qira’at dan mengalahkan
imam-imam yang lain. Dari masing-masing tujuh imam itu dikenal dua orang perawi
di antara sekian banyak perawi yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Nama-nama
tujuh imam dan dua orang perawinya itu adalah sebagai berikut:
1. Ibnu Katsir dari Makkah. Dua orang perawinya adalah Qanbul dan
Bazzi yang meriwayatkan qira’at darinya melalui seorang
perantara.
2. Nafi’ dari Madman. Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.
3. Ashim dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Abu Bakar Syu’bah bin
al-‘Iyasy dan Hafs. Al-Qur’an yang ada di kalangan kaum Muslimin dewasa ini
adalah memakai qira’at Ashim yang diriwayatkan oleh Hafs.
4. Hamzah dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Khalf dan Khalaad yang
meriwayatkan qira’at darinya melalui satu perantara.
5. Al-Kisa’i dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Dauri dan Abul Harits.
6. Abu Amr bin al- ‘Ala’ dari Basrah. Dua orang perawinya adalah Dauri dan
Sausi yang meriwayatkan qira’atdarinya melalui seorang perantara.
7. Ibnu ‘Amir. Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Zakwan yang
meriwayatkan melalui satu perantara.
Kemasyhuran qira’at sab’ah (tujuh qira’at yang
diriwayatkan dari tujuh imam qira’at di atas) diiringi oleh
tiga qira’at lain yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, Ya’kub
dari Khalaf.
Ada beberapa qira’at lain yang tidak terkenal,
seperti qira’at yang disebutkan
sebagai berasal dari sebagian
sahabat, qira’at syadz (tidak populer) yang tidak
boleh diamalkan, serta qira’at-qira’at yang terpencar-pencar
yang dijumpai dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlul Bait.
Mereka ini memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya untuk mengikuti qira’at yang
terkenal itu.
E. Tolok Ukur Validitas Qira’at
Untuk menangkal
penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama
membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima.
Untuk membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang
aneh (sya’zzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang
benar. Pertama, qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab
sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qira’at itu sesuai dengan
mushhaf utsmani. Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qira’at yang
tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at yang
selain mereka. Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini
adalah qira’at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus
diterima. Sebaliknya, qira’at yang kurang salah satu dari tiga
syarat ini disebut sebagai qira’at yang lemah atau aneh atau
batal, baik qira’at tersebut diriwayatkan dari imam qira’at yang
tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yang benar
menurut imam-imam yang meneliti dari kalangan Salaf dan Khalaf. Demikian
ditegaskan oleh Al-Dani, Makki, Al-Mahdi, dan Abu Syamah. Bahkan, menurut
Al-Suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab Salaf yang tidak diketahui seorang pun
dari mereka menyalahinya. (Ramli Abdul Wahid, 1993:119)
Mayoritas ulama
Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tujuh qira’at di
atas diriwayatkan secara mutawatir, sehingga sabda
Nabi, “Al-Qur’an diturunkan dengan memakai tujuh
huruf”, ditafsirkan oleh sebagian mereka sebagai diturunkan dengan memakai
tujuh qira’at itu. Sebagian ulama Syi’ah juga condong
kepada pendapat ini. (Thabathaba’i, 1992:139)
Namun Makki
menyatakan,. “Sungguh salah bila orang menganggap bahwa qira’at para qura,
seperti Nafi’ dan ‘Ashim, itu adalah tujuh huruf yang disebutkan dalam hadis
Nabi (di atas).” Selanjutnya ia menyatakan, “Anggapan ini membawa konsekuensi
bahwa qira’at di luar qira’at tujuh imam itu,
yang telah pasti diriwayatkan dari imam-imam selain mereka dan sesuai dengan
tulisan mushaf, bukan merupakan Al-Qur’an. Ini merupakan kesalahan yang besar,
sebab ahli-ahli qira’at terdahulu yang menyusun buku-buku
tentang qira’at-qira’at Al-Qur’an, seperti Abu ‘Ubaid al-Qasim
bin Salam, Abu Hatim as-Sijistani, Abu Ja’far ath-Thabari dan Ismail al-Qadhi
menyebutkan qira’at-qira’at yang jumlahnya beberapa lipat dari
jumlah tujuh qira’at itu. (Thabathaba’i, 1992:139)
F. Implikasinya Dalam Penafsiran
Yang menjadi persoalan adalah, apakah perbedaan-perbedaan yang ada
pada qira’at itu berimplikasi pada penafsiran? Jawabnya,
perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak,
perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath daripadanya.
Karena itu, Al-Zarkasyi berkata: (Ramli Abdul Wahid, 1993:123)
Artinya: “Bahwa dengan perbedaan qira’at timbullah perbedaan dalam
hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang
disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada:
“kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya
mencampuri perempuan yang sedang haidh ketika terputus haidhnya dan tidak
bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan:
“hingga mereka suci”.
Menurut qira’at Nafi’ dan Abu ‘Amr dibaca dan
menurut qira’at hamzah dan Al-Kisai; . Qira’a pertama dengan
sukun tha dan dhammah ha’ menunjukkan
larangan menggauli perempuan itu pada ketika haidh. Ini berarti bahwa ia boleh
dicampuri setelah terputusnya haidh sekalipun sebelum mandi. Inilah pendapat
Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid (suara
ganda) tha’ dan ha’ menunjukkan
adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih. Perbuatan itu
adalah mandi sehingga ditafsirkan dengan (mandi).
Berdasarkan qira’at Hamzah dan Al-Kisai, jumhur ulama
menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
Perbedaan antara qira’at dan juga mempengaruhi
perbedaan dalam istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki,
semata-mata bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu’.
Sebab, menurut Hanafi, kata; di sini berarti jima’ (hubungan
kelamin) dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan
nafsu. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, bersentuhan semata akan membatalkan
wudhu’.
Dari sudut qira’at, perbedaan qira’at dalam
ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qira’at pertama:
mengandung unsur interaksi antara pihak yang menyentuh dan yang disentuh, baik
interaksinya sampai kepada jima’sebagaimana yang dipahami mazhab
Hanafi maupun haanya sampai kepada batas perasaan syahwat sebagaimana yang
dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab, kata: termasuk bentuk kata
kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu, qira’at:
adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak
mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’atpertama mendukung
pendapat mazhab Hanafi dan Maliki dan qira’at kedua mendukung
pendapat mazhab Syafi’i. Di samping ini, masing-masing memang mempunyai alasan
lain.
Demikianlah beberapa contoh, yang menunjukkan bahwa perbedaan qira’at itu
juga berimplikasi dari perbedaan penafsiran ulama dalam mengistinbat hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perbedaan pembacaan
atau pelafalan kitab suci Al-Qur’an bukan berarti tidak sesuai dengan Al-Qur’an
itu sendiri, karena perbedaan itulah timbul yang namanya Ilmu Qiraat Al-Qur’an,
tidak semua orang dapat membuat perbedaan bacaan tersebut. Ada syarat-syarat
tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ada 7 imam yang dapat kita anut
pembacaannya diantaranya Ibnu Katsir dari Makkah, Nafi’ dari Madman,
Ashim dari Kufah, Hamzah dari Kufah, Al-Kisa’i dari Kufah, Abu Amr bin al-
‘Ala’ dari Basrah, Ibnu ‘Amir. Dalam perbedaan pembacaan Al-Qur’an tentunya
akan menjadikan perbedaan dalam penafsiran, tetapi bukan berarti bentuk
penyelewengan Al-Qur’an.
B. Saran
Kita sebagai seorang
Muslim harusnya mengetahui tantang Ilmu Qiraat supaya nantinya jika terdapat
perbedaan pembacaan Al-Qur’an maka kita tidak hanya menyalahkan, tapi
mengetahui karena memang ada perbedaan pembacaannya, dan juga kita dapat
mengetahui imam-imam yang harus dianut dalam pembacaa Al-Qur’an
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosihon, Ulum Al-Qur’an, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2010
Mudzakar,
op.cit
https://mangunbudiyanto.wordpress.com/2010/06/20/
qira-dalam al-quran- pengertian teori-asal-usul-qiraat-tolok-ukur-validitas-qiraat-implikasinya-dalam-penafsiran/
No comments:
Post a Comment