MAKALAH
GOLONGAN MURJI’AH
Makalah
Ini Ditulis dan Ditujukan Guna Memenuhi Tugas oleh Dosen Pengampu Drs. H. Amir Gufron, M.Ag
Disusun
Oleh :
Ahmad Ainurrizal
Uswatun Khasanah
Bachrul Ulum Rully
Nasikhul Umam
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA (UNISNU) JEPARA
Alamat: Jalan Taman Siswa No.9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode
Pos 59427,Telp./Fax (0291)593132
GOLONGAN MURJI’AH
A.
Asal-usul
kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a
yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.
Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan kepada pelaku dosa
besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah Swt. Selain itu, arja’a
berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang
mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang
yang menunda penjelasan kedudukan sesorang yang bersengketa, yakni Ali dan
Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah.
Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk
menghindari sektarianisme. Murji’ah, baik sebagi kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syiah dan Khawarij.
Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan
basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang
diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa 20 tahun
setelah kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian
sipil. Al-Mukhtar membawa faham Syiah ke Kufah dari tahun 685-687; Ibnu
Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga yang berada di bawah kekuasaan
Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul gagasan irja atau
penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali dipergunakan sekitar
tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah,
dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu, al-Hasan menunjukkan sikap
politiknya dengan mengatakan, “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama
yang melibatkan Usman, Ali, dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah).”
Dengan sikap politik ini, al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam.
Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syiah revolusioner
yang terlampau mengagungkan Ali dab para pengikutnya, serta menjauhkan diri
dari Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa
ia adalah keturunan si pendosa Usman.
Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali
dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash,
seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro
dan yang kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali,
yakni kubu Khawarij. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan
Al-Qur’an, dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah. Oleh
karena itu, mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim itu dosa besar,
dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar lain,
seperti zina, riba, membunuh tanpa alasan yang benar, durhaka kepada orang tua,
serta memfitnah wanita baik-baik. Pendapat ini ditentang oleh sekelompok
sahabat yang kemudian disebut Murji’ah, yang mengatakan bahwa pembuat
dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada
Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.[1]
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab beberapa daerah takluk
kedalam kekuasaannya. Syria jatuh 638 M, disusul Mesir pada 641 M, lalu Persia
642 M jatuh ketangan umat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar, dengan
kekayaan yang cukup dan tinggi peradabannya, masuk kedalam kekuasaan Islam.
Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur, dengan pusat pemerintahan
tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah oleh seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang penting diperhatikan, bahwa meluasnya wilayah
Islam ketiga daerah tersebut:
Pertama, penduduk dari
wilayah-wilayah Persia, Syria, dan Mesir itu masing-masing telah mengenal
peradaban-peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban dan agama Mesir,
Babilon, Persia, Yahudi, dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat
Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin
tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan
Mesir, tatkala khalifah Umar membebaskannya.
Kedua, setelah
daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu
yang melakuka konversi agama kedalam Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun
dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadinya denga pesatnya, terutama
disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap
pemimpin-pemimpinnya. Apabila raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta dan
orang-orang kaya mereka masuk Islam, maka merekapun masuk Islam pula.
Kedua hal diatas tentu saja berpengaruh pada jalan pikiran umat
Islam umumnya, sebab umat Islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir, dan
Syria) telah membawa peradabnnya dan cara-cara pemikirannya kedalam tubuh
masyarakat Islam sendiri.
Hal ini menjadi persoalan bari di kalangan umat Islam. Harus
diperiksa (diseleksi) manakah dari peradaban dan pemikiran itu yang sesuai dan
dapat diterima Islam, dan mana pula yang berbeda, bertentangan, dan ditolak
oleh agama Islam.
Untuk terjadilah pertukaran pikiran diantara mereka. Dan dari sini
timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalaudalam tubuh umat Islam Arab
sendiri telah tumbuh benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat dalam
dalam soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qadar Tuhan) maka dengan
pembahasan-pembahasan bari ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar
dan meluas. Meluas baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada
unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.[2]
B.
Doktrin-doktrin
Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasana
atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasiakan dalam banyak
persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin
irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir
selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah
dikenal pula sebagai the queietist (kelompok bungkam). Sikap ini
akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam
dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah
ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada
perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin
kompleks sehngga mencakup iman, kufur,
dosa besar dan ringan (mortal and venial sains), tauhis tafsir
Al-Qur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman
atas dosa, ada yang kafir di kalangan ,generasi awal Islam, tobat, hakikat
Al-Qur’an, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.
Berkaitan dengan dokrin ketentuan Murji’ah, W. Montgomery
Watt merincinya sebagai berikut:
1.
Penangguhan
keputusan terhadap Ali dan Muawiyyah hingga Allah memutuskannya di akhirat
kelak.
2.
Penangguhan
Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat khulafaur rasyidin
3.
Pemberian
harapan terhadap orang Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah Swt.
4.
Doktrin-doktrin
Murji’ah meyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari
kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution
menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1.
Menunda
hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa al-Asy’ary yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang Muslim tang berdosa besar.
3.
Meletakkan
(pentingnya) iman daripada amal.
4.
Memberikan
pengharapan kepada Muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu A’la al-Maududi menyebutkan dua doktrin ajaran
pokok Murji’ah, yaitu:
1.
Iman
adalah percaya kepada Allah dan RasulNya saja. Adapun amal dan perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Bedasarkan hal ini, seseorang tetap
dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardhukan dan melakukan
dosa besar.
2.
Dasar
keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat
tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk
mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
C.
Sekte-sekte
Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya
dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan hanya dalam hal intensitas) di kalangan
para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang
cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah.
Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu
yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak
diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari
Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlussunnah. Oleh karena itu, Ash-Syahrastani,
seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
1.
Murji’ah Khawarij
2.
Murji’ah Qadariyah
3.
Murji’ah Jabariyah
4.
Murji’ah Murni
5.
Murji’ah Sunni
Sementara itu,
Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:
1.
Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
2.
Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi
3.
Al-Yunusiyah, pengikut Yunus as-Samary
4.
As-Samriyah, pengikut Abu Samr bin Yunus
5.
Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6.
Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
7.
An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
8.
Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah an-Nu’man
9.
Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10.
Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
11.
Al-Murisiyah pengikut Basr al-Murisy
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah
menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah
moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir,
tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila
diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah
pengetahuan tentang Tuhan dan Rasu-rasulNya serta apa saja yang datang dariNya
secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman ini tidak bertambah da tidak
pula berkurang. Tak ada perbuatan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian
ini adalah al-Hasan Bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu
Yusuf, dab beberapa ahli hadits.
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah al-Jahmiyah,
ash-Shalihiyah, al-Yunusiyah, al-Ubadiyah, dan al-Hasaniyah. Pandangan
tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut:
1.
Jahmiyah,
kelompok Jahm bin Shufwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang
percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah
menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada
bagian lain dalam tubuh manusia.
2.
Shalihiyah,
kelompok Abu Hasan ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan,
sedangkan kufur adalah tidah tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada
Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepadaNya dalam arti mengetahui Tuhan.
Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
3.
Yunusiyah
dan Ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan
jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang
bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan
jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik
(politheist).
4.
Hasaniyah
menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan
babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah kambing ini,”
maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’bah, tetapi saya tidak
tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain.
Pendapat-pendapat ekstrim seperti diuraikan diatas timbul dari
pengertian bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, yang kemudian
meningkat pada pengertian bahwa hanya imanlah yang penting dan yang menentukan
mukmin atau tidak mukkminnya seseorang; perbuatan-perbuatan tidak mempunyai
pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada di dalam hati
seseorang tidak diketahui manusia lain; selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia
tidak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu
ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti
bahwa ia tidak mempunyai iman. Yang penting ialah iman yang ada di dalam hati.
Dengan demikian ucapan dan perbutan-perbutan tidak merusak iman seseorang.
Ajaran serupa ini ada bahayanya karena dapat membawa pada moral
latitude, sikap memperlemah ikatan-ikatan moral, atau masyarakat yang
bersifat permissive, masyarakat yang dapat mentolerir
penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma akhlak yang berlaku. Karena yang
dipentingkan hanyalah iman, norma-norma akhlak bisa dipandang kurang penting
dan abaikan oleh orang-orang yang menganut paham demikian
Inilah kelihatannya yang menjadi sebab maka nama Murji’ah itu pada akhirnya
mengandung arti tidak baik dan tidak disenangi.
Tetapi bagaimanapun ajaran yang terdapat dalam golongan Murji’ah
moderat tersebut diatas menjadi ajaran yang diterima dalam golongan ahlus
sunnah wal jama’ah dalam Islam.
Menurut al-asy‘ari sendiri iman ialah pengakuan dalam hati tentang
keesaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul-Rasul serta segala apa yang mereka
bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan
cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa
taubat, nasibnya terletak di tangan Tuhan. Ada kemungkinan Tuhan akan
mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang
dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga, karena ia tak mungkin
akan kekal tinnggal dalam neraka.
Pendapat yang diuraikan al-Asy’ari ini identik dengan pendapat yang
dimajukan golongan Murji’ah moderat. Dan mungkin inilah sebabnya maka ibn Hazm
memasukkan al-Asy’ari kedalam golongan kaum Murji’ah.
Paham yang sama diberikan oleh al-baghdadi ketika ia menerangkan
bahwa ada tiga macam iman
1.
Iman
yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal kedalam neraka:
yaitu mengakui Tuhan, kitab, Rasul-Rasul, kabar baik dan buruk, sifat-sofat
Tuhan dan segala keyakinan-keyakinan lain yang diakui dalam syariat.
2.
Iman
yang mewajibkan adanya keadilan dan yang melenyapkan nama fasiq dari seseorang
serta yang melepaskannya dari neraka,
yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
3.
Iman
yang membuat seseorang memperoleh prioritas untuk langsung masuk surga tanpa
perhitungan, yaitu mengerjakan segal yang wajib serta yang sunnat dan menjauhi
segala dosa.
Ringkasannya menurut uraian diatas orang yang berdosa besar
bukanlah kafir, dan tidak kekal di dalam neraka. Orang demikian adalah mikmin
dan akhirnya akan masuk surga.
Kalau yang diatas merupakan pendapat dari ahlussunnah golongan
Asy’ari maka dari golongan ahlussunnah maturidiyah, al-Bazdawi memberikan
uraian sebagi berikut. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan
lisan. Kepatuhan pada perintah-perintah Tuhan merupakan akibat dari kepercayaan
atau iman. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah kafir. Orang
yang berdosa besar tidak akan kekal dalam neraka sungguhpun ia meninggal dunia
sebelum sempat bertaubat dari dosa-dosanya. Nasibnya di akhirat terletak pada
kehendak Allah; orang yang demikian mungkin memperoleh ampunan dan masuk surga,
mungkin pula dosanya tidak diampuni, dan oleh karena itu dimasukkan ke dalam
neraka sesuai dengan kehendak Allah dan kemudian baru dimasukkan ke dalam
surga. Adapun orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh
kebaikan, sembahyang dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankannya. Dengan
demikian dosa-dosa besar, apalagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang
menjadi kafir dan tidak membuat seseorang keluar dari iman. Iman merupakan jaminan bagi seseorang untuk
masuk surga dan kepatuhan kepada Tuhanlah yang menentukan derajat yang akan
diperoleh seseorang di dalamnya. Dengan kata lain, dalam pendapat al-Bazdawi,
iman adalah kunci untuk masuk surga, sedang amal akan menentukan tingkatan yang
dimasuki seseorang dalam surga. Kalau amal baiknya banyak, tingkatan yang akan
diperolehnya tinggi, tetapi jika amal baiknya sedikit derajat yang akan diperolehnya
rendah.
Dengan demikian pendapat-pendapat yang diterangkan oleh
pemuka-pemuka ahlussunnah tersebut diatas pada dasarnya sama dengan
pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh kaum Murji’ah moderat. Hal ini diakui
sendiri oleh al-Bazdawi ketika ia mengatakan, “kamu Murji’ah pada umunya
sependapat dengan ahlussunnah wal jamaah.”
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah
moderat, sebagai golongan yang beridiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan
ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur, dan dosa besa besar masuk dalam
aliran ahlussunnah wal jamaah. Adapun golongan Murji’ah ekstrim juga telah
hilang sebagai aliran yang berdiri sendir, tetapi dalam praktek masih terdapat
sevagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan
tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalam hal ini mengikuti ajaran-ajaran
golongan Murji’ah ekstrim.[4]
DAFTAR PUSTAKA
Rozak,
Abdul. 2009. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Nasir, Sahilun A. 2012. Pemikiran Kalam (Teologi Islam).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)
[1] Abdul, Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
hal.56
[2] Sahilun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), hal. 152 dikutip dari Amin, Dluha, Juz III, hal 316.
[3] Op.cit.,
[4] Harun,
Nasutin, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)1986), hal. 29
No comments:
Post a Comment