Thursday, January 9, 2020

FIQH JINAYAH DAN JARIMAH


MAKALAH
JINAYAT DAN JARIMAH
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “FIQH II”
Dosen Pengampu : H. ALI AS’AD, S.Sy., S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun oleh :
MOCH KAMALUDIN                               : (141310003115)
ENDAH FARIDHOTUL FIKRIYAH                  : (141310003140)

UNIVERSITAS NAHDLOTUL ULAMA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JL. TAMAN SISWA (PEKENG) TAHUNAN JEPARA 59427
TAHUN AJARAN 2015/2016




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala Puji Syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga  laporan penelitian dapat terselesaikan dengan segala kesalahan dan kekurangannya, guna memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh II (Jinayat dan Munakahat)”. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,dan semoga kita semua termasuk umatnya yang kelak mendapatkan syafa’atnya kelak dihari qiamat. Āmīn....
Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin dan kami juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun kami sebagai penyusun berharap isi dari makalah ini bebas dari kesalahan dan kekurangan. Namun, tentunya kami menyadari bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dan kesempurnaan itu hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya lapoaran ini diwaktu mendatang. Semoga Allah SWT memberkahi makalah ini, sehingga dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Āmīn...

Jepara, 01 Maret 2016

Penulis



DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I (PENDAHULUAN)
A.    Latar Belakang............................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah....................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan......................................................................................... 2
BAB II  (PEMBAHASAN)
A.    Pengertian Jinayat dan Jarimah................................................................... 3
B.     Hubungan Jarimah dengan Larangan Syara’.............................................. 7
C.     Bentuk-Bentuk Jarimah.............................................................................. 9
D.    Perbedaan Antara Jarimah Hudud, Qishash-Diyat dan Ta’zir.................. 18
BAB III  (PENUTUP)
A.    Simpulan................................................................................................... 19
B.     Daftar Pustaka.......................................................................................... 20










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh, menfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda lainnya dibahas dalam jinayat. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah jinayat ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran objek badan dn jiiwa saja.
Adapun perbuatan dosa selain hal tersebut tidak termasuk dalam jinayat, melainkan dibahs terpisah  pada berbagai bab-bab tersendiri. Ulama’-ulama’ Muta’akhirin menghimpunnya dalam bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat atau yang bisa dikenal denagn Hukum Pidana Islam. Didalamnya terhimpun pembahasan mengenai semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup dan lingkungan masyarakat secara luas.
Pembahasan terhadap masalah yang sama daalam ilmu hukum, dinamai Hukum Pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa belanda Strafrecht. Buku atau kitab yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau tindak kejahatan dan hukuman yang diancamkan kepada si pelaku tersebut dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht.
Dalam mempelajari Fiqih Jinayat, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu harus dipahami, sebelum mempelajari materinya lebih lanjut. Kedua istilah itu adalah istilah jinayat dan jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah itu berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan dipahami agar dalam pemahaman dan penerapannya tidak terjadi kekeliruan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari jinayat?
2.      Apa pengertian dari jarimah?
3.      Apa persamaan dan perbedaan antara jinayat dan jarimah?
4.      Bagaimana hubungan jarimah dengan larangan syara’?
5.      Ada berapa bentuk dari jarimah dan apa saja bentuk-bentuk dari jarimah itu?
6.      Apa perbedaan antara jarimah hudud, qishash-diyat dan ta’zir?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian dari jinayat.
2.      Mengetahui penegertian dari jarimah.
3.      Mampu memahami persamaan dan perbedaan antara jinayat dan jarimah.
4.      Memahami hubungan jarimah dengan larangan syara’.
5.      Mengetahui bentuk-bentuk dari jarimah.
6.      Mampu memahami perbedaan antara jarimah hudud, qishash-diyat dan ta’zir.


7.       
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Jinayat dan Jarimah
1.      Jinayat
Jinayat artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jinayat adalah masdar ( kata asal ) dari kata kerja ( fi’il madhi ) janaa " جَنَى " yang mengandung arti berbuat dosa atau berbuat jahat. Orang yang melakukan kejahatan disebut " الْجَانِيْ " apabila si pelaku adalah laki-laki, sedangkan pelakunya adalah perempuan maka disebut dengan"  " الْجَـانِـيَةِ [1].
Dalam kitab Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy disebutkan :
إِسْـمٌ لِـمَا يَـجْنِـيْهِ الْمَرْءُ مِنْ شَـرٍّ وَمَا اكْـتَـسَبَهُ
Jinayat: sebutan untuk suatu perbuatan buruk (kejahatan ) yang dilakukan seseorang dan apa yang diusahakan.[2]
Sedangkan menurut istilah :
فَالْجِـنَايَـةُ إِسْـمٌ لِفِـعْـلٍ مُحَـرَّمٍ شَـرْعًـا , سَـوَاءٌ وَقَـعَ الْفِـعْـلُ عَلَى نَـفْسٍ اَوْ مَالٍ اَوْ غَـيْرِ ذَلِكَ
Jinayat adalah sebutan untuk perbuatan yang di haramkan menurut hukum syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainya.[3]

Jadi pengertian jinayat adalah semua perbuatan yang diharamkan, perbuatan atau tindakan yang dicegah atau dilarang oleh Syara’ dan apabila dilakukan perbuatan semacam itu akan membahayakan agama, jiwa, akal, harta, dan lainya.
Menurut aliran (madzhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayat. Kata “jinayat” hanya di peruntukkan bagi semua yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, missal melukai atau membunuh. Adapun perbuatan dosa yang berkaitan dengan objek atau sasarannya barang atau harta benda, maka disebut dengan ghashab. Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari pembahasan jinayat. Adapun madzhab lain, seperti imam Syafi’i, Maliki dan Hambali, tidak membuat pemisahan antara perbuatan jahat terhadap juwa dan anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kedua hal itu dirangkum dalam hal jinayat[4].
Tanpa memperpanjang perbedaan tersebut, inti dari kata jinayat merupakan perbuatan jahat,salah, atau pelanggaran yang inklusif (mencakup) segala kejahatan, baik terhadap jiwa atau anggota badan. Makan dari itu, kejahatan terhadap harta benda bisa dengan otomatis termasuk dalam pembahasan jinayat, tanpa perlu di adakan pemisahan diantara keduanya.

2.      Jarimah
Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa, sehingga makna kata dari jarimah sekilas hampir sama  dengan arti jinayat. Secara bahasa, jarimah berasal dari kata " جَـرَمَ " yang merupakan sinonim dari kata " قَـطَعَ " dan " كَـسَبَ " artinya berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha disini bermakna tidak baik atau usaha yang dibenci[5].
Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi :
اَلْجَـرَائِـمُ مَخْـظُـوْرَاتٌ شَـرْعِـيَّـةٌ زَجَـرَ اللهُ تَـعَـالَى عَـنْـهَا بِـحَـدٍّ اَوْ تَـعْـزِيْـرٍ
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had dan ta’zir.
Dalam hal ini, seperti halnya jinayat. Kata jarimah pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan, aktif atau pasif. Oleh karena itu, perbuatan jarimah bukan saja mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan, tetapi juga dianggap sebagai jarimah kalau seseorang meninggalkan perbuatan yang menurut peraturan harus dikerjakan.
Abdul Qadir Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan "مَـحْـظُـوْرَاتٌ" (larangan) seperti yang termaktub dalam definisi diatas, beliau mengatakan sebagai berikut :
اِمَّا اِتْـيَانُ فِـعْـلٍ مَـنْـهِـيٍّ عَـنْهُ  اَوْ تَـرْكِ فِـعْـلٍ مَـأْمُـوْرٍ بِهِ
Yang dimaksud mahdhurat (larangan) : melakukan suatu perbuatan yang dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintah.

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa kata mahdhurat mengandung dua pengertian. Pertama: Dilarang berbuat, artinya dilarang melakukan perbuatan yang dilarang. Kedua: Larangan untuk tidak meninggalkan perbuatan yang diperintahkan atau hanya diam saja tanpa mengerjakan perbuatan yang telah diperintahkan[6].
Dalam suatu perbuatan baru bisa dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah ada tiga macam, yaitu :
a.       Unsur formal (اَلرُّكْنُ الشَّرْعِيُّ)
b.      Unsur Material (الرُّكْنُ الْمَادِيُّ)
c.       Unsur moral (الرُّكْنُ الأَدَبِيُّ)

3.      Persamaan dan Perbedaan Jinayat dengan Jarimah
Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah itu berbeda dalam penerapannya.  pengertian antara jinayat dengan jarimah terkesan sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, namun keduanya dapat dibedakan. Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa, bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan tersebut, misalnya, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan perbuatan jarimah, yang kemudian dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tersebut. Maka dari itu, digunakan istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah pemerkosaan dan jarimah politik dan bukan menggunakan istilah jinayat pencurian, jinayat pembunuhan, jinayat pemerkosaan, dan jinayat politik.
Dari uraian diatas bisa dipahami mengenai pengertian bahwa kata jarimah identik dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Maksudnya adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam hukum positif, contoh-contoh jarimah diatas diistilahkan dengan delik atau tindak pidana.
Adapun dalam pemakaian kata jinayat lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditunjukkan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia. Dan tidak ditunjukkan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia dan hukuman yang diancamkan kepada si pelaku disebut dengan fiqih jinayat dan bukan istilah fiqih jarimah. Fiqih jinayat itu  adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah-masalah perbuatan kejahatan dan  tindakan pelanggaran (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci[7].
B.     Hubungan Jarimah dengan Larangan Syara’
Suatu tindak kejahatan disebut jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana  atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun non materi atau gangguan non fisik, seperti ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan lain sebagainya[8].
Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut di antranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya walaupun hasil dari perbuatan tersebut merugikan orang lain. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sebuah peratuaran atau undang-undang. Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat menekan dan membuat seseorang untuk mematuhi aturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi.
Tanpa adanya sanksi yang menyertai larangan atau perintah, harapan akan terciptanya kemaslahatan umum yang diharapkan akan sulit terealisasikan. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kehidupan dalam bermasyarakat yang dibutuhkan tidak hanya mengandalkan keimanan, niat baik, kejujuran dan sebagainya dari anggota masyarakat, namun juga harus didukung dengan adanya ancaman sanksi hukum.
Hukuman, ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang maslahat (baik), bahkan hukuman itu akan berakibat buruk, menyakitkan, menyengsarakan, membelenggu kebebasan bagi si pelaku tindak kejahatan. Namun bila dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan beserta sanksi sangatlah diperlukan guna mencapai kemaslahatan banyak orang.
Berbuat jarimah mungkin memang menguntungkan  bagi si pelaku dan ini memang sesuai dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang terbaik bagi dirinya, namun sebaliknya malah merugikan pihak lain. Tindakan mencuri, menipu, berzina, tidak menunaikan zakat, mungkin bisa jadi menguntungkan bagi si pelaku tindak pidana atau pelaku jarimah, baik yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi, semua itu sama sekali bukanlah yang mendasari pertimbangan Syara’ dalam melarang tindakan pidana atau jarimah tersebut. Artinya, bukan keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan bahwa mencuri, berzina, tidak mengeluarkan zakat itu dilarang, melainkan perilaku merekalah yang berdampak buruk dan merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan dan melanggar kesusilaan yang menjadi dasar hal tersebut dilarang oleh Syara’.
Jadi, dasar pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah atau tindak pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya individual, tetapi adanya konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan kepentingan sosial. Maka, kesimpulan diadakannya peraturan, baik berupa perintah maupun larangan, sudah tentu disertai sanksi-sanksinya semata-mata bagi kepentinagan oraang banyak, bukan kepentingan orang per orang.
Dalam hal ini, Allah SWT sebagai pembuat syari’at, pembuat peraturan, sama sekali tidak menerima keuntungan. Andaikata seluruh isi alam ini mentaati seluruh peraturanya. Sebaliknya, kedurhakaan seisi alam ini pun juga tidak akan membuat Allah SWT merugi.
Esensi untuk menerapkaan hukuman bagi pelaku tindak pidana atau jarimah, antara hukum Islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian dalam suatu tujuan, yaitu terpeliharanya kepentingan, ketentraman dan kelangsungan hidup masyarakat. Meskipun ada kesamaan persepsi dalam hal tujuan tersebut, hukum Islam dalam menetapkan suatu jarimah tidak bergantung pada ada tidaknya kerugian dari hasil jarimah itu. Seperti yang diketahui, bahwa tujuan dari kehadiran agama Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya, maka segala perilaku akan dihadapkan pada norma dan moral tak terkecuali halnya dengn jarimah.
Sesuai dengan misi awalnya, hukum Islam sangat menjunjung tinggi akhlak. Namun, sebaliknya hukum positif cenderung mengabaikannya. Hukum Islam menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah, penilaian utamanya adalah apakah perbuatan itu bertentangan dengan akhlak atau tidak, kalau iya, maka tidaknya kerugian, tetap dianggap sebagai jarimah[9].

C.    Bentuk-Bentuk Jarimah
Berdasarkan pada sudut pandang atau aspek yang ditonjolkan, jarimah dibagi menjadi macam-macaam bentuk dan jenisnya. Berdasarkan aspeknya jarimah terbagi menjadi lima, antara lain sebagai berikut :
1.      Dilihat dari Pelaksanaanya
Aspek yang ditonjolkan dari perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah tersebut. Apakah jarimah itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan yang terlarang ataukah si pelaku tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan. Kalau si pelaku mengerjakan perbuaatan yang terlarang, berarti ia telah melakukan jarimah secara ijabiyyah (aktif melakukan perbuatan jarimah) atau dalam hukum positif disebut dengan delict commisionis. Si pelaku jarimah ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, berzina, mabuk-mabukan, membunuh dan lain sebagainya. Bentuk kebalikannya adalah jarimah salabiyah (si pelaku pasif) dalam hukum positif disebut delict ommisionis. Seperti tidak melakukan sholat, tidak membayar zakat dan lain sebagainya. Sebagian ulama’ dalam kaitannya dengan aspek ini, memmunculkan bentuk campuran ijaabiyah (aktif) dengan salabiyah (pasif), seperti dalam sebuah kasus ada seseorang bermaksud membunuh tawanan, namun tidak dilakukan dengan cara membunuhnya, melainkan dengan menahan si korban di suatu tempat tanpa memberinya makan dan minim sampai si tawanan meninggal dunia[10].
2.      Dilihat dari Niatnya
Pembagian jarimah dari sudut pandang ini, terbagi dalam dua bagian. Pertama adaalah jarimah yang disengaja (jarimah al-makshudah) yang diniati bahkan direncanakan. Bentuk kedua adalah jarimaah yang tidaak disengaja (jarimah ghair makshudah), bentuk jarimah ini terjadi karena adanya kekeliruan, misal seseorang melempar batu untuk mengusir binatang, akan tetapi batu itu mengenai oraang lain dan hal itu bukanlah suatu kesengajaan. Kemudian karena kelalaian, yaitu suatu perbuatan yang sama sekali tidak sengaja, baik perbuatan itu sendiri maupun hasil dari perbuatannya, contohnya adalah seseorang membakar sampah dengan maksud membersihkan sekeliling, naamun tanpa sepengetahuaan api itu membakar rumah atau lainya[11].
3.      Dilihat dari Objeknya
Aspek yang dapat membedakan bentuk jarimah adalah aspek korban. Dalam hal ini dapat dibedakan apakah hasil dari jaarimah tersebut mengenai perseorangan atau kelompok masyarakat. Jika yang menjadi korbaan itu perseorangan.disebut jarimah perseorangan dan jika yang menjadi korban itu masyarakat disebut jarimah masyarakat. Sebagian ulama’ berpendapat, bila korban tersebut perorangan, jarimah tersebut menjadi hak adami (hak perseorangan), namun bila korbannya masyarakat, jarimah tersebut menjadi hak jama’ah (hak Allah)[12].
4.      Dilihat dari Motifnya
Dalam keseharian, sering kali mendengar kata-kata tindak pidana yang dikaitkan dengan masalah kenegaraan, pemerintahan atau sesuatu yang sifatnya politis. Jarimah politik adalah jarimah yang dilakukan dengan maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan, seperti pemberontakan bersenjata dengan tujuan politik. Sedangkaan jarimh-jaarimah yang tidak bermuatan politik disebut jarimah biasa, seperti mencuri ayam atau barang-barang lainnya atau menganiaya orang[13].
5.      Dilihat dari Bobot Hukuman
Para ulama’ membagi masalah jinayat menjadi tiga bagian. Pembagian ini berdasarkan bobot hukuman yang dikenakan terhadap pelaku jarimah, sedangkan hukuman itu sendiri didasarkan atas ada tidaknya dalam nash Al-Qur’an atau As-Sunnah. Namun, ada pula sebagian ulama’ yang membaginya menjadi dua bagian karena memasukkan maslah qishash atau diyat dalam kelompok hudud, diantaranya Al-Mawardy yang mendefinisikan jarimah sebagai berikut :
مَحْـظُوْرَاتٌ شَرْعِـيَّةٌ زَجَـرَ اللهُ عَـنْهَـا بِـحَـدٍّ أَوْ تَـعْـزِيْـرٍ
“Larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah SWT dengan hukuman had dan ta’zir.”

Dari definisi tersebut, terdapat kata qishash secara eksplisit. Oleh karena itu, secara implicit qishash termasuk dalam kelompok jarimah hudud[14].
Namun pada umumnya para ulama’ membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, antara lain sebagai berikut :
a.      Jarimah Hudud
Secara etimologi, hudud yang merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti الْمَنْعُ  (larangan, pencegahan). Adapun secara terminologi, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah ditentukan dan yang wajib dilaksanakan secara haq karena Allah SWT.[15] Sementara itu, sebagian ahli fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, berpendapat bahwa had ialah sanksi yang telah ditentukan secara syara’. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan hukumnya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an atau As-Sunnah.
Dengan demikian, had atau hudud mencakup semua jarimah, baik hudud, qishash maupun diyat dan ta’zir, sebab sanksi keseluruhannya telah ditentukan secara syara’.
Para ulama’ membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang termasuk kelompok hudud, yaitu :
اَنْ يَـخْـطِئَ اِمَامٌ فِيْ الْعَـفْـوِ خَـيْرٌ مِنْ اَنْ يَـخْـطِئَ فِيْ الْعُـقُـوْبَةِ
“Kesalahan dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik daripada kesalahan dalam menjatuhkan sanksi.”

Oleh karena itu, kalau terjadi keraguan, ketidak yaqinan, kekurangan bukti dan lainnya, hindarilah penjatuhan hudud tersebut, seperti yang termaktub dalam kaidah berikut ini :
اِدْرَؤُوْا الْحُـدُوْدَ بِالشُّبْـهَاتِ
“Hindarilah hukuman had (hudud) karena adanya keraguan.[16]

Adapun jarimah yang termaksud dalam kelompok hudud menurut para ulama’ ada tujuh macam jarimah, yaitu :
1.      Jarimah zina (termasuk homoseksual dan lesbian).
2.      Jarimah Qadzf (menuduh orang yang baik-baik berbuat zina).
3.      Jarimah Syurb Al-Khamr (minum-minuman keras).
4.      Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan).
5.      Jarimah Al-Riddah (murtad).
6.      Jarimah Al-Sariqah (pencurian).
7.      Jarimah Al-Hiraabah (perampokan)[17].

b.      Jarimah Qishash-Diyat
Secara etimologis, qishash berasal dari kata قَصَّ – يَـقُصُّ - قَصَصًا   yang berarti  تَـتَّـبِـعَـهُ  mengikuti, menelusuri jejak atau langkah.
Sebagaimana firman Allah SWT :
قَالَ ذٰلِكَ مَا كُـنَّا نَـبْـغِ ۚ فَارْتَـدَّا عَلَى أَثَـارِهِـمَا قَـصَصًا
“Musa berkata , : “Itulah tempat yaang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.” (QS. Al-Kahfi : 64)

Adapun arti qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani,  yaitu mengenai sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada si pelaku, sama persis seperti tindakan yang dilakukan oleh si pelaku tersebut terhadap si korban[18].
Dalam hukum pidana Islam dikenal delik pidana qishash. Secara harfiah qishash artinya memotong atau membalas. Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana Islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada si pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya[19].
Diyat pada dasarnya adalah bagian dari qishash. Maksudnya, dalam pembahasan qishash yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq al-qishash memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih qishas, perdamaian, atau memaafkan. Dengan ketentuan ini, diyat adalah pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq al-qishâsh.
Lain halnya qishash, diyat berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan ketentuan yang harus dibayar oleh si pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukannya.
Sanksi hukum bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai subjek hukum memiliki kewenangan untuk memilih sanksi hukuman dari dua alternatif, yaitu :
1.      Pembunuh atau si pelaku diberikan hukuman yang setimpal, yaitu mendapat balasan yang sama seperti yang telah diperbuat si pelaku terhadap si korban.
2.      Pembunuh atau si pelaku harus membayar diyat kepada keluarga korban.
Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif Furqan, mengelompokkan qishash menjadi dua, yaitu :
1.      Qishash An-Nafs (qishash yang membuat korbannya meninggal).
2.      Qishash Ghairu An-Nafs (qishash karena melakukan penganiayaan atau pencederaan)[20].
Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah SWT :
يٰٓـأَ يُّـهَا الَّذِيْـنَ أٰمَنُـوْا كُـتِـبَ عَـلَيْكُـمُ الْقِـصَاصُ فِيْ الْقَـتْلَى
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah:178)

Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan si pelaku. Kalau ternyata dari pihak keluarga korban memaafkan si pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat[21].
Untuk menjamin ketertiban dan keamanan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota badan lainnya, qishash dipandang lebih menjamin dari pada hukuman lainnya. Sehingga seseorang akan berpikir dua kali untuk membunuh.
Perbedaan qishash dengan diyat adalah :
-          Qishash merupakan bentuk hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan secara sengaja. Dan qishash merupakan pembalasan setimpal yang dikenakan kepada si pelaku pidana sebagai sanksi atas perbuatannya.
-          Diyat merupakan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku jarimah dengan objek nyawa dan anggota badan, tetapi dilakukan tidak sengaja atau si pelaku dimaafkan oleh pihak keluarga korban[22]. Diyat juga merupakan sebuah hukuman dan juga merupakan wujud ganti rugi bagi pihak korban.

c.       Jarimah Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata عَـزَرَ - يَـعْـزِرُ  yang secara etimologi berarti  الرَّدُّ  وَالْمَـنْعُ , yaitu menolak dan mencegah[23]. Ta’zir menurut arti kata adalah At-Ta’dib artinya memberi pengajaran. Dalam fiqh jinayat, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah yang bentuk atau macam jarimah serta hukum (sanksi) ditentukan oleh penguasa (pemerintah).
Menurut  Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan Al-‘Arab, ta’zir adalah hukuman yang tidak termasuk had, berfungsi mencegah pelaku tindak pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.
Sedangkan menurut Abu Zahra dalam kitab Al-Jarimah wa Al-‘Uqubah fi Fiqh Al-Islami, ta’zir adalah sanksi-sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh syara’ (Allah SWT dan Rasulullah SAW) tentang jenis  dan hukumannya dan syara’ menyerahkan penentuan ukuran dan hukumannya kepada ulil amri atau hakim yang mampu menggali hukum[24].
Jadi, jarimah jenis ini sangat berbeda dengan jarimah hudud dan jarimah qishash atau diyat yang telah ditentukan oleh Syara’. Tidak ditentukan macam dan hukuman pada jarimah ta’zir, sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Karena hal itu, jarimah ta’zir juga sering disebut dengan jarimah kemaslahatan umum[25].
Syara’ tidak menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir, melainkan hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai paling berat dan ketentuan ruang lingkup dari jarimah ta’zir serta pembagiannya. Dan hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang sesuai.
Berikut ini adalah ruang lingkup dalam jarimah ta’zir, antara lain :
1.      Jarimah hudud atau jarimah qishash atau diyat yang terdapat syubhat, maka dapat dialihkan sanksi ta’zir, seperti :
a.       Orang tua yang mencuri harta anaknya. Dalilnya :
 أَنْـتَ وَ مَالُكَ لِأَبِـيْكَ
“Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
b.      Orang tua yang membunuh anaknya. Dalilnya :
لاَ يُـقَادُ الْوَالِدُ بِـوَلَدِهِ
“Orang tua tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya.” (HR. Ahmad dan Al-Turmidzi)
2.      Jarimah Hudud atau qishash-diyat yang tidak memenuhi syarat, maka akan dijatuhi sanksi ta’zir. Contohnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan percobaab zina.
3.      Jarimah yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak ditentukan sanksinya. Contohnya penghinaan, tidak melaksanaan amanah, bersaksi palsu, riba, suap dan pembalakan liar.
4.      Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umat. Seperti penipuan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan, pembajakan, human trafficking dan money laudering.
Adanya jarimah ta’zir dilakukan untuk menegur dan memberikan pengajaran serta pencegahan. Penetapan sanksi ta’zir dilakukan melalui pengakuan, bukti serta saksi dan keputusan hakim. Selain imam atau hakim, orang yang berhak memberikan sanksi ta’zir kepada pelaku adalah ayah atau ibu guna untuk mendidik anaknya, suami untuk mendidik istrinya atau guru untuk mendidik muridnya[26].



D.    Perbedaan Antara Jarimah Hudud, Qishash-Diyat dan Ta’zir
No
Bentuk-Bentuk Jarimah
Hudud
Qishash-Diyat
Ta’zir
1
Tidak adanya pemaafan.
Adanya pemaafan dari korban atau pihak keluarga korban.
Adanya pemaafan dari ulil amri, apabila hal itu lebih baik.
2
Hukuman telah ditentukan oleh syara’ (fixed punishment)
Hukuman telah ditentukan oleh syara’ (fixed punishment)
Hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi si pelaku sesuai kondisi dan tindak kejahatan.
3
Pembuktian harus ada saksi dan pengakuan yang benar dan akurat.
Pembuktian harus ada saksi dan pengakuan yang benar dan akurat.
Pembuktiannya sangat luas kemungkinannya.
4
Tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena si pelaku harus sudah baligh.
Tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena si pelaku harus sudah baligh.
Dapat dikenakan kepada anak kecil, karena ta’zir dilakukan untuk mendidik.
5
Ukuran kadar hukuman telah ditetapkan secara pasti oleh syari’at.
Ukuran kadar hukuman telah ditetapkan secara pasti oleh syari’at.
Kadar ketentuan diserahkan kepada ijtihad hakim dan ulama’ dan berat ringannya disesuaikan menurut pelanggarannya.

BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Jinayat artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Jadi jinayat adalah semua perbuatan yang diharamkan, perbuatan atau tindakan yang dicegah atau dilarang oleh Syara’ dan apabila dilakukan perbuatan semacam itu akan membahayakan agama, jiwa, akal, harta, dan lainya. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa, sehingga makna kata dari jarimah sekilas hampir sama  dengan arti jinayat. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah itu berbeda dalam penerapannya. Walaupun pengertian antara jinayat dengan jarimah sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, namun keduanya dapat dibedakan. Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa, bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan tersebut, misalnya, pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan perbuatan jarimah, adapun dalam pemakaian kata jinayat lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu ditunjukkan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan manusia. Dan tidak ditunjukkan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan manusia dan hukuman yang diancamkan kepada si pelaku disebut dengan fiqih jinayat dan bukan istilah fiqih jarimah. pada umumnya para ulama’ membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, yaitu : jarimah hudud, jarimah qishash-diyat dan jarimah ta’zir.




DAFTAR PUTAKA
¨      Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
¨      Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung : Pustaka Setia.
¨      Nurul Irfan, M dan Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayat. Jakarta : AMZAH.
¨      Wardi Muslich, Ahmad. 2004. Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayat). Jakarta : Sinar Grafika.




[1] Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam. (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 12.
[2] Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayat). (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
[3] Ibid, hlm. 1.
[4] Rahmat Hakim. Op.Cit., hlm. 13.
[5] Ibid, hlm. 13.
[6] Ibid, hlm. 14.
[7] Ahmad Wardi Mushlich. Op.Cit., hlm. 2.
[8] Rahmat Hakim. Op.Cit., hlm. 17.
[9] Ibid, hlm. 17-19.
[10] Ibid, hlm. 23.
[11] Ibid, hlm. 24.
[12] Ibid, hlm. 24-25.
[13] Ibid, hlm. 25.
[14] Ibid, hlm. 23-25.
[15] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Fiqih jinayat. (Jakarta : AMZAH, 2013), hlm. 13-14.
[16] Rahmat Hakim. Op.Cit., hlm. 26-27.
[17] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 3.
[18] Ibid, hlm. 4.
[19] Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hlm. 10-11.
[20] Ibid, hlm. 11.
[21] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 5.
[22] Rahmat hakim. Op.Cit., hlm. 29.
[23] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 136.
[24] Ibid, hlm.138-139.
[25] Rahmat hakim. Op.Cit., hlm. 30-31.
[26] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 143-145.


1 comment:

  1. Easy "water hack" burns 2 lbs OVERNIGHT

    More than 160 thousand women and men are using a simple and secret "water hack" to drop 1-2 lbs every night while they sleep.

    It is scientific and works all the time.

    Here's how to do it yourself:

    1) Take a drinking glass and fill it up half glass

    2) And now learn this amazing HACK

    you'll be 1-2 lbs lighter the next day!

    ReplyDelete