MAKALAH
“JINAYAT DAN JARIMAH”
Di Susun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah “FIQH II”
Dosen Pengampu : H. ALI AS’AD, S.Sy., S.Pd.I, M.Pd.I
Disusun oleh :
MOCH KAMALUDIN :
(141310003115)
ENDAH FARIDHOTUL FIKRIYAH : (141310003140)
UNIVERSITAS NAHDLOTUL ULAMA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JL. TAMAN SISWA (PEKENG) TAHUNAN
JEPARA 59427
TAHUN AJARAN 2015/2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala Puji Syukur senantiasa
tercurahkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga laporan penelitian dapat terselesaikan dengan
segala kesalahan dan kekurangannya, guna memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh II (Jinayat
dan Munakahat)”. Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW,dan semoga kita semua
termasuk umatnya yang kelak mendapatkan syafa’atnya kelak dihari qiamat. Āmīn....
Makalah ini telah kami susun semaksimal
mungkin dan kami juga mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Meskipun kami sebagai penyusun berharap isi dari makalah ini bebas dari
kesalahan dan kekurangan. Namun, tentunya kami menyadari bahwa kami hanyalah
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan dan kesempurnaan itu hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi sempurnanya lapoaran ini diwaktu mendatang.
Semoga Allah SWT memberkahi makalah ini, sehingga dapat memberikan manfaat
kepada kita semua. Āmīn...
Jepara, 01 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 2
C. Tujuan
Penulisan......................................................................................... 2
BAB II
(PEMBAHASAN)
A. Pengertian
Jinayat dan Jarimah................................................................... 3
B. Hubungan
Jarimah dengan Larangan Syara’.............................................. 7
C. Bentuk-Bentuk
Jarimah.............................................................................. 9
D. Perbedaan Antara
Jarimah Hudud, Qishash-Diyat dan Ta’zir.................. 18
BAB III
(PENUTUP)
A. Simpulan................................................................................................... 19
B. Daftar Pustaka.......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbuatan
manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik
pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti
membunuh, menuduh, menfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda lainnya
dibahas dalam jinayat. Dalam kitab-kitab klasik, pembahasan masalah jinayat
ini hanya dikhususkan pada perbuatan dosa yang berkaitan dengan sasaran objek
badan dn jiiwa saja.
Adapun
perbuatan dosa selain hal tersebut tidak termasuk dalam jinayat,
melainkan dibahs terpisah pada berbagai
bab-bab tersendiri. Ulama’-ulama’ Muta’akhirin menghimpunnya dalam
bagian khusus yang dinamai Fiqih Jinayat atau yang bisa dikenal denagn Hukum
Pidana Islam. Didalamnya terhimpun pembahasan mengenai semua jenis
pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta
benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup dan lingkungan masyarakat
secara luas.
Pembahasan
terhadap masalah yang sama daalam ilmu hukum, dinamai Hukum Pidana yang
merupakan terjemahan dari bahasa belanda Strafrecht. Buku atau kitab
yang memuat rincian perbuatan pelanggaran atau tindak kejahatan dan hukuman
yang diancamkan kepada si pelaku tersebut dinamakan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) atau dalam bahasa aslinya dikenal sebagai Wetboek
van Strafrecht.
Dalam
mempelajari Fiqih Jinayat, ada dua istilah penting yang terlebih dahulu
harus dipahami, sebelum mempelajari materinya lebih lanjut. Kedua istilah itu
adalah istilah jinayat dan jarimah. Kedua istilah ini secara
etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah
itu berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus
diperhatikan dan dipahami agar dalam pemahaman dan penerapannya tidak terjadi
kekeliruan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari jinayat?
2.
Apa pengertian dari jarimah?
3.
Apa persamaan dan perbedaan antara jinayat dan
jarimah?
4.
Bagaimana hubungan jarimah dengan larangan
syara’?
5.
Ada berapa bentuk dari jarimah dan apa saja
bentuk-bentuk dari jarimah itu?
6.
Apa perbedaan antara jarimah hudud,
qishash-diyat dan ta’zir?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
pengertian dari jinayat.
2. Mengetahui
penegertian dari jarimah.
3. Mampu memahami
persamaan dan perbedaan antara jinayat dan jarimah.
4. Memahami
hubungan jarimah dengan larangan syara’.
5. Mengetahui bentuk-bentuk
dari jarimah.
6. Mampu memahami
perbedaan antara jarimah hudud, qishash-diyat dan ta’zir.
7.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jinayat
dan Jarimah
1. Jinayat
Jinayat artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau
jahat. Jinayat adalah masdar ( kata asal ) dari kata kerja ( fi’il madhi
) janaa " جَنَى " yang mengandung
arti berbuat dosa atau berbuat jahat. Orang yang melakukan kejahatan disebut " الْجَانِيْ " apabila si pelaku adalah laki-laki, sedangkan pelakunya adalah
perempuan maka disebut dengan" " الْجَـانِـيَةِ [1].
Dalam kitab Al-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy
disebutkan :
إِسْـمٌ
لِـمَا يَـجْنِـيْهِ الْمَرْءُ مِنْ شَـرٍّ وَمَا اكْـتَـسَبَهُ
“Jinayat: sebutan untuk suatu perbuatan buruk (kejahatan ) yang
dilakukan seseorang dan apa yang diusahakan.”[2]
Sedangkan menurut istilah :
فَالْجِـنَايَـةُ
إِسْـمٌ لِفِـعْـلٍ مُحَـرَّمٍ شَـرْعًـا , سَـوَاءٌ وَقَـعَ الْفِـعْـلُ عَلَى
نَـفْسٍ اَوْ مَالٍ اَوْ غَـيْرِ ذَلِكَ
“Jinayat adalah sebutan untuk perbuatan yang di haramkan menurut
hukum syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainya.”[3]
Jadi pengertian
jinayat adalah semua perbuatan yang diharamkan, perbuatan atau tindakan
yang dicegah atau dilarang oleh Syara’ dan apabila dilakukan perbuatan semacam
itu akan membahayakan agama, jiwa, akal, harta, dan lainya.
Menurut aliran
(madzhab) Hanafi, ada pemisahan dalam pengertian jinayat. Kata “jinayat” hanya di peruntukkan bagi semua
yang dilakukan manusia dengan objek anggota badan dan jiwa saja, missal melukai
atau membunuh. Adapun perbuatan dosa yang berkaitan
dengan objek atau sasarannya barang atau harta benda, maka disebut dengan ghashab. Oleh karena itu, pembahasan mengenai pencurian dipisahkan dari
pembahasan jinayat. Adapun madzhab lain, seperti imam Syafi’i, Maliki
dan Hambali, tidak membuat pemisahan antara perbuatan jahat terhadap juwa dan
anggota badan dengan kejahatan terhadap harta benda. Oleh karena itu,
pembahasan mengenai kedua hal itu dirangkum dalam hal jinayat[4].
Tanpa
memperpanjang perbedaan tersebut, inti dari kata jinayat merupakan
perbuatan jahat,salah, atau pelanggaran yang inklusif (mencakup) segala
kejahatan, baik terhadap jiwa atau anggota badan. Makan dari itu, kejahatan terhadap harta benda bisa dengan otomatis
termasuk dalam pembahasan jinayat, tanpa perlu di adakan pemisahan
diantara keduanya.
2.
Jarimah
Pada dasarnya, kata jarimah
mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau dosa, sehingga makna kata dari jarimah
sekilas hampir sama dengan arti jinayat. Secara bahasa, jarimah
berasal dari kata " جَـرَمَ " yang merupakan sinonim dari kata " قَـطَعَ " dan " كَـسَبَ " artinya berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha
disini bermakna tidak baik atau usaha yang dibenci[5].
Pengertian jarimah
sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi :
اَلْجَـرَائِـمُ
مَخْـظُـوْرَاتٌ شَـرْعِـيَّـةٌ زَجَـرَ اللهُ تَـعَـالَى عَـنْـهَا بِـحَـدٍّ
اَوْ تَـعْـزِيْـرٍ
“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang
diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had dan ta’zir.”
Dalam hal ini, seperti halnya jinayat.
Kata jarimah pun mencakup perbuatan ataupun tidak berbuat, mengerjakan atau meninggalkan,
aktif atau pasif. Oleh karena itu, perbuatan jarimah bukan saja
mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas dilarang oleh peraturan, tetapi juga
dianggap sebagai jarimah kalau seseorang meninggalkan perbuatan yang
menurut peraturan harus dikerjakan.
Abdul Qadir
Audah menjelaskan masalah ini dengan mengatakan "مَـحْـظُـوْرَاتٌ" (larangan) seperti yang termaktub dalam definisi diatas,
beliau mengatakan sebagai berikut :
اِمَّا
اِتْـيَانُ فِـعْـلٍ مَـنْـهِـيٍّ عَـنْهُ
اَوْ تَـرْكِ فِـعْـلٍ مَـأْمُـوْرٍ بِهِ
“Yang dimaksud mahdhurat (larangan) : melakukan suatu
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintah.”
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami
bahwa kata mahdhurat mengandung dua pengertian. Pertama: Dilarang berbuat, artinya dilarang melakukan perbuatan
yang dilarang. Kedua: Larangan untuk
tidak meninggalkan perbuatan yang diperintahkan atau hanya diam saja tanpa
mengerjakan perbuatan yang telah diperintahkan[6].
Dalam suatu
perbuatan baru bisa dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah
terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum
berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk
masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang
lain.
Abdul Qadir
Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah ada tiga macam, yaitu :
a.
Unsur formal (اَلرُّكْنُ
الشَّرْعِيُّ)
b. Unsur Material (الرُّكْنُ
الْمَادِيُّ)
c. Unsur moral (الرُّكْنُ
الأَدَبِيُّ)
3.
Persamaan dan Perbedaan Jinayat
dengan Jarimah
Kedua istilah
ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua
istilah itu berbeda dalam penerapannya. pengertian antara jinayat dengan jarimah
terkesan sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, namun keduanya
dapat dibedakan. Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa, bentuk,
macam, atau sifat dari perbuatan tersebut, misalnya, pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan sebagainya. Semua itu disebut dengan perbuatan jarimah, yang kemudian
dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tersebut. Maka dari itu, digunakan istilah
jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, jarimah pemerkosaan
dan jarimah politik dan bukan menggunakan istilah jinayat
pencurian, jinayat pembunuhan, jinayat pemerkosaan, dan jinayat
politik.
Dari uraian diatas bisa dipahami
mengenai pengertian bahwa kata jarimah identik dengan pengertian yang
disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Maksudnya
adalah satuan atau sifat dari suatu pelanggaran hukum. Dalam hukum positif,
contoh-contoh jarimah diatas diistilahkan dengan delik atau tindak
pidana.
Adapun dalam
pemakaian kata jinayat lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu
ditunjukkan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan
manusia. Dan tidak ditunjukkan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena
itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang
dikerjakan manusia dan hukuman yang diancamkan kepada si pelaku disebut dengan
fiqih jinayat dan bukan istilah fiqih jarimah. Fiqih jinayat
itu adalah ilmu tentang hukum syara’
yang berkaitan dengan masalah-masalah perbuatan kejahatan dan tindakan pelanggaran (jarimah) dan
hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci[7].
B.
Hubungan Jarimah dengan Larangan Syara’
Suatu tindak kejahatan disebut jarimah
(tindak pidana, peristiwa pidana atau
delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau
masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata
aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal lain yang harus dipelihara
dan dijunjung tinggi keberadaannya. Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan
tersebut dianggap sebagai jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut
yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad,
nyawa atau harta benda) maupun non materi atau gangguan non fisik, seperti
ketenangan, ketentraman, harga diri, adat istiadat dan lain sebagainya[8].
Penyebab perbuatan yang merugikan
tersebut di antranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang
menguntungkan bagi dirinya walaupun hasil dari perbuatan tersebut merugikan
orang lain. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sebuah peratuaran atau undang-undang.
Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat menekan dan
membuat seseorang untuk mematuhi aturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah
penyertaan ancaman hukuman atau sanksi.
Tanpa adanya sanksi yang menyertai
larangan atau perintah, harapan akan terciptanya kemaslahatan umum yang
diharapkan akan sulit terealisasikan. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan,
kenyamanan, kehidupan dalam bermasyarakat yang dibutuhkan tidak hanya
mengandalkan keimanan, niat baik, kejujuran dan sebagainya dari anggota masyarakat,
namun juga harus didukung dengan adanya ancaman sanksi hukum.
Hukuman,
ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang maslahat (baik), bahkan
hukuman itu akan berakibat buruk, menyakitkan, menyengsarakan, membelenggu
kebebasan bagi si pelaku tindak kejahatan. Namun bila
dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan beserta
sanksi sangatlah diperlukan guna mencapai kemaslahatan banyak orang.
Berbuat jarimah
mungkin memang menguntungkan bagi si
pelaku dan ini memang sesuai dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang
terbaik bagi dirinya, namun sebaliknya malah merugikan pihak lain. Tindakan
mencuri, menipu, berzina, tidak menunaikan zakat, mungkin bisa jadi
menguntungkan bagi si pelaku tindak pidana atau pelaku jarimah, baik
yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi,
semua itu sama sekali bukanlah yang mendasari pertimbangan Syara’ dalam
melarang tindakan pidana atau jarimah tersebut. Artinya, bukan
keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan bahwa mencuri, berzina,
tidak mengeluarkan zakat itu dilarang, melainkan perilaku merekalah yang
berdampak buruk dan merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan dan melanggar
kesusilaan yang menjadi dasar hal tersebut dilarang oleh Syara’.
Jadi, dasar
pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah atau tindak
pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya individual, tetapi adanya
konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan kepentingan sosial. Maka, kesimpulan diadakannya peraturan, baik berupa perintah maupun
larangan, sudah tentu disertai sanksi-sanksinya semata-mata bagi kepentinagan
oraang banyak, bukan kepentingan orang per orang.
Dalam hal ini, Allah SWT sebagai
pembuat syari’at, pembuat peraturan, sama sekali tidak menerima keuntungan.
Andaikata seluruh isi alam ini mentaati seluruh peraturanya. Sebaliknya,
kedurhakaan seisi alam ini pun juga tidak akan membuat Allah SWT merugi.
Esensi untuk
menerapkaan hukuman bagi pelaku tindak pidana atau jarimah, antara hukum
Islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian dalam suatu tujuan,
yaitu terpeliharanya kepentingan, ketentraman dan kelangsungan hidup
masyarakat. Meskipun ada kesamaan persepsi dalam
hal tujuan tersebut, hukum Islam dalam menetapkan suatu jarimah tidak
bergantung pada ada tidaknya kerugian dari hasil jarimah itu. Seperti
yang diketahui, bahwa tujuan dari kehadiran agama Islam adalah untuk menyempurnakan
akhlak umatnya, maka segala perilaku akan dihadapkan pada norma
dan moral tak terkecuali halnya dengn jarimah.
Sesuai dengan misi awalnya, hukum Islam
sangat menjunjung tinggi akhlak. Namun, sebaliknya hukum positif cenderung
mengabaikannya. Hukum Islam menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah,
penilaian utamanya adalah apakah perbuatan itu bertentangan dengan akhlak atau
tidak, kalau iya, maka tidaknya kerugian, tetap dianggap sebagai jarimah[9].
C.
Bentuk-Bentuk Jarimah
Berdasarkan pada sudut pandang atau
aspek yang ditonjolkan, jarimah dibagi menjadi macam-macaam bentuk dan
jenisnya. Berdasarkan aspeknya jarimah terbagi menjadi lima, antara lain
sebagai berikut :
1.
Dilihat
dari Pelaksanaanya
Aspek yang ditonjolkan dari
perbuatan jarimah ini adalah bagaimana si pelaku melaksanakan jarimah
tersebut. Apakah jarimah itu dilaksanakan dengan melakukan perbuatan
yang terlarang ataukah si pelaku tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan.
Kalau si pelaku mengerjakan perbuaatan yang terlarang, berarti ia telah
melakukan jarimah secara ijabiyyah (aktif melakukan perbuatan jarimah)
atau dalam hukum positif disebut dengan delict commisionis. Si pelaku jarimah
ini telah melakukan perbuatan maksiat, mengerjakan perbuatan yang dilarang,
seperti mencuri, berzina, mabuk-mabukan, membunuh dan lain sebagainya. Bentuk
kebalikannya adalah jarimah salabiyah (si pelaku pasif) dalam hukum
positif disebut delict ommisionis. Seperti tidak melakukan sholat, tidak
membayar zakat dan lain sebagainya. Sebagian ulama’ dalam kaitannya dengan
aspek ini, memmunculkan bentuk campuran ijaabiyah (aktif) dengan salabiyah
(pasif), seperti dalam sebuah kasus ada seseorang bermaksud membunuh tawanan,
namun tidak dilakukan dengan cara membunuhnya, melainkan dengan menahan si
korban di suatu tempat tanpa memberinya makan dan minim sampai si tawanan
meninggal dunia[10].
2.
Dilihat
dari Niatnya
Pembagian jarimah dari sudut
pandang ini, terbagi dalam dua bagian. Pertama adaalah jarimah yang
disengaja (jarimah al-makshudah) yang diniati bahkan direncanakan.
Bentuk kedua adalah jarimaah yang tidaak disengaja (jarimah ghair makshudah),
bentuk jarimah ini terjadi karena adanya kekeliruan, misal seseorang
melempar batu untuk mengusir binatang, akan tetapi batu itu mengenai oraang
lain dan hal itu bukanlah suatu kesengajaan. Kemudian karena kelalaian, yaitu
suatu perbuatan yang sama sekali tidak sengaja, baik perbuatan itu sendiri
maupun hasil dari perbuatannya, contohnya adalah seseorang membakar sampah
dengan maksud membersihkan sekeliling, naamun tanpa sepengetahuaan api itu
membakar rumah atau lainya[11].
3.
Dilihat
dari Objeknya
Aspek yang dapat membedakan bentuk jarimah
adalah aspek korban. Dalam hal ini dapat dibedakan apakah hasil dari jaarimah
tersebut mengenai perseorangan atau kelompok masyarakat. Jika yang menjadi
korbaan itu perseorangan.disebut jarimah perseorangan dan jika yang
menjadi korban itu masyarakat disebut jarimah masyarakat. Sebagian
ulama’ berpendapat, bila korban tersebut perorangan, jarimah tersebut
menjadi hak adami (hak perseorangan), namun bila korbannya masyarakat, jarimah
tersebut menjadi hak jama’ah (hak Allah)[12].
4.
Dilihat
dari Motifnya
Dalam keseharian, sering kali
mendengar kata-kata tindak pidana yang dikaitkan dengan masalah kenegaraan,
pemerintahan atau sesuatu yang sifatnya politis. Jarimah politik adalah jarimah
yang dilakukan dengan maksud-maksud politis dan biasanya dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki tujuan politik untuk melawan pemerintahan, seperti pemberontakan
bersenjata dengan tujuan politik. Sedangkaan jarimh-jaarimah yang tidak
bermuatan politik disebut jarimah biasa, seperti mencuri ayam atau
barang-barang lainnya atau menganiaya orang[13].
5.
Dilihat
dari Bobot Hukuman
Para ulama’ membagi masalah jinayat
menjadi tiga bagian. Pembagian ini berdasarkan bobot hukuman yang dikenakan terhadap
pelaku jarimah, sedangkan hukuman itu sendiri didasarkan atas ada
tidaknya dalam nash Al-Qur’an atau As-Sunnah. Namun, ada pula sebagian ulama’
yang membaginya menjadi dua bagian karena memasukkan maslah qishash atau
diyat dalam kelompok hudud, diantaranya Al-Mawardy yang
mendefinisikan jarimah sebagai berikut :
مَحْـظُوْرَاتٌ
شَرْعِـيَّةٌ زَجَـرَ اللهُ عَـنْهَـا بِـحَـدٍّ أَوْ تَـعْـزِيْـرٍ
“Larangan-larangan Syara’
yang diancam Allah SWT dengan hukuman had dan ta’zir.”
Dari definisi tersebut, terdapat
kata qishash secara eksplisit. Oleh karena itu, secara implicit qishash
termasuk dalam kelompok jarimah hudud[14].
Namun pada umumnya para ulama’
membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, antara lain sebagai berikut :
a.
Jarimah Hudud
Secara etimologi, hudud yang
merupakan bentuk jamak dari kata had yang berarti الْمَنْعُ
(larangan, pencegahan).
Adapun secara terminologi, Al-Jurjani mengartikan sebagai sanksi yang telah
ditentukan dan yang wajib dilaksanakan secara haq karena Allah SWT.[15]
Sementara itu, sebagian ahli fiqh sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah,
berpendapat bahwa had ialah sanksi yang telah ditentukan secara syara’. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga
ditentukan hukumnya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an atau As-Sunnah.
Dengan
demikian, had atau hudud mencakup semua jarimah, baik hudud,
qishash maupun diyat dan ta’zir, sebab sanksi
keseluruhannya telah ditentukan secara syara’.
Para ulama’
membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang termasuk kelompok hudud,
yaitu :
اَنْ
يَـخْـطِئَ اِمَامٌ فِيْ الْعَـفْـوِ خَـيْرٌ مِنْ اَنْ يَـخْـطِئَ فِيْ
الْعُـقُـوْبَةِ
“Kesalahan
dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik daripada kesalahan dalam
menjatuhkan sanksi.”
Oleh karena
itu, kalau terjadi keraguan, ketidak yaqinan, kekurangan bukti dan lainnya,
hindarilah penjatuhan hudud tersebut, seperti yang termaktub dalam
kaidah berikut ini :
اِدْرَؤُوْا الْحُـدُوْدَ بِالشُّبْـهَاتِ
“Hindarilah
hukuman had (hudud) karena adanya keraguan.[16]”
Adapun jarimah
yang termaksud dalam kelompok hudud menurut para ulama’ ada tujuh macam jarimah,
yaitu :
1. Jarimah zina (termasuk homoseksual dan
lesbian).
2. Jarimah Qadzf (menuduh orang yang baik-baik berbuat
zina).
3. Jarimah Syurb Al-Khamr (minum-minuman keras).
4. Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan).
5. Jarimah Al-Riddah (murtad).
6. Jarimah Al-Sariqah (pencurian).
b. Jarimah Qishash-Diyat
Secara
etimologis, qishash berasal dari kata قَصَّ – يَـقُصُّ - قَصَصًا yang berarti تَـتَّـبِـعَـهُ mengikuti, menelusuri jejak atau langkah.
Sebagaimana
firman Allah SWT :
قَالَ
ذٰلِكَ مَا كُـنَّا نَـبْـغِ ۚ فَارْتَـدَّا عَلَى أَثَـارِهِـمَا قَـصَصًا
“Musa
berkata , : “Itulah tempat yaang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula.” (QS. Al-Kahfi : 64)
Adapun arti qishash
secara terminologi yang dikemukakan oleh Al-Jurjani, yaitu mengenai sebuah tindakan (sanksi hukum)
kepada si pelaku, sama persis seperti tindakan yang dilakukan oleh si pelaku
tersebut terhadap si korban[18].
Dalam hukum
pidana Islam dikenal delik pidana qishash. Secara harfiah qishash
artinya memotong atau membalas. Qishash yang dimaksud dalam hukum pidana
Islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada si pelaku pidana sebagai
sanksi atas perbuatannya[19].
Diyat pada dasarnya adalah bagian dari qishash. Maksudnya, dalam
pembahasan qishash yang telah lalu, dikatakan bahwa mustahiq
al-qishash memiliki hak untuk menentukan sama ada memilih qishas,
perdamaian, atau memaafkan. Dengan ketentuan ini, diyat adalah
pilihan kedua yaitu perdamaian. Ketika mustahiq al-qishâsh
memilih untuk berdamai, maka ia berhak mendapatkan diyat dalam arti si
pelaku kejahatan berkewajiban membayar diyat kepada mustahiq
al-qishâsh.
Lain halnya qishash,
diyat berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan ketentuan
yang harus dibayar oleh si pelaku pidana kepada pihak korban sebagai sanksi
atas pelanggaran yang telah dilakukannya.
Sanksi hukum
bagi orang yang membunuh diserahkan kepada manusia, dalam arti manusia sebagai
subjek hukum memiliki kewenangan untuk memilih sanksi hukuman dari dua
alternatif, yaitu :
1. Pembunuh atau
si pelaku diberikan hukuman yang setimpal, yaitu mendapat balasan yang sama
seperti yang telah diperbuat si pelaku terhadap si korban.
2. Pembunuh atau
si pelaku harus membayar diyat kepada keluarga korban.
Ibnu Rusyd seperti yang dikutip oleh Arif
Furqan, mengelompokkan qishash menjadi dua, yaitu :
1. Qishash An-Nafs
(qishash
yang membuat korbannya meninggal).
Sanksi hukum qishash
yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam
firman Allah SWT :
يٰٓـأَ يُّـهَا الَّذِيْـنَ أٰمَنُـوْا كُـتِـبَ عَـلَيْكُـمُ
الْقِـصَاصُ فِيْ الْقَـتْلَى
“Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah:178)
Ayat ini berisi
tentang hukuman qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara
sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan si pelaku. Kalau ternyata
dari pihak keluarga korban memaafkan si pelaku, maka sanksi qishash
tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman diyat[21].
Untuk menjamin
ketertiban dan keamanan yang berkenaan dengan nyawa dan anggota badan lainnya, qishash
dipandang lebih menjamin dari pada hukuman lainnya. Sehingga seseorang akan
berpikir dua kali untuk membunuh.
Perbedaan qishash
dengan diyat adalah :
-
Qishash merupakan bentuk hukuman bagi pelaku jarimah
terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan secara sengaja. Dan qishash
merupakan pembalasan setimpal yang dikenakan kepada si pelaku pidana sebagai
sanksi atas perbuatannya.
-
Diyat merupakan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku
jarimah dengan objek nyawa dan anggota badan, tetapi dilakukan tidak
sengaja atau si pelaku dimaafkan oleh pihak keluarga korban[22]. Diyat
juga merupakan sebuah hukuman dan juga merupakan wujud ganti rugi bagi pihak
korban.
c. Jarimah Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk
mashdar dari kata عَـزَرَ
- يَـعْـزِرُ yang
secara etimologi berarti الرَّدُّ
وَالْمَـنْعُ , yaitu menolak dan mencegah[23]. Ta’zir
menurut arti kata adalah At-Ta’dib artinya memberi pengajaran. Dalam fiqh jinayat,
ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah yang bentuk atau macam jarimah
serta hukum (sanksi) ditentukan oleh penguasa (pemerintah).
Menurut Ibnu Manzhur dalam kitab Lisan Al-‘Arab, ta’zir
adalah hukuman yang tidak termasuk had, berfungsi mencegah pelaku tindak
pidana dari melakukan kejahatan dan menghalanginya dari melakukan maksiat.
Sedangkan
menurut Abu Zahra dalam kitab Al-Jarimah wa Al-‘Uqubah fi Fiqh Al-Islami, ta’zir
adalah sanksi-sanksi hukum yang tidak disebutkan oleh syara’ (Allah SWT dan
Rasulullah SAW) tentang jenis dan
hukumannya dan syara’ menyerahkan penentuan ukuran dan hukumannya kepada ulil
amri atau hakim yang mampu menggali hukum[24].
Jadi, jarimah
jenis ini sangat berbeda dengan jarimah hudud dan jarimah qishash
atau diyat yang telah ditentukan oleh Syara’. Tidak ditentukan macam dan
hukuman pada jarimah ta’zir, sebab jarimah ini berkaitan
dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Karena hal itu, jarimah
ta’zir juga sering disebut dengan jarimah kemaslahatan umum[25].
Syara’ tidak
menentukan macam-macam hukuman untuk setiap jarimah ta’zir,
melainkan hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan sampai
paling berat dan ketentuan ruang lingkup dari jarimah ta’zir
serta pembagiannya. Dan hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman mana yang
sesuai.
Berikut ini
adalah ruang lingkup dalam jarimah ta’zir, antara lain :
1. Jarimah hudud atau jarimah qishash
atau diyat yang terdapat syubhat, maka dapat dialihkan sanksi ta’zir,
seperti :
a. Orang tua yang
mencuri harta anaknya. Dalilnya :
أَنْـتَ وَ مَالُكَ لِأَبِـيْكَ
“Kamu
dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
b. Orang tua yang
membunuh anaknya. Dalilnya :
لاَ يُـقَادُ الْوَالِدُ بِـوَلَدِهِ
“Orang
tua tidak dapat dijatuhi hukuman qishash karena membunuh anaknya.” (HR. Ahmad dan Al-Turmidzi)
2. Jarimah Hudud atau qishash-diyat
yang tidak memenuhi syarat, maka akan dijatuhi sanksi ta’zir. Contohnya percobaan
pencurian, percobaan pembunuhan dan percobaab zina.
3. Jarimah yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, namun tidak ditentukan sanksinya. Contohnya penghinaan, tidak
melaksanaan amanah, bersaksi palsu, riba, suap dan pembalakan liar.
4. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk
kemaslahatan umat. Seperti penipuan, pornografi dan pornoaksi, penyelundupan,
pembajakan, human trafficking dan money laudering.
Adanya jarimah
ta’zir dilakukan untuk menegur dan memberikan pengajaran serta
pencegahan. Penetapan sanksi ta’zir dilakukan melalui pengakuan, bukti
serta saksi dan keputusan hakim. Selain imam atau hakim, orang yang berhak
memberikan sanksi ta’zir kepada pelaku adalah ayah atau ibu guna untuk
mendidik anaknya, suami untuk mendidik istrinya atau guru untuk mendidik
muridnya[26].
D. Perbedaan
Antara Jarimah Hudud, Qishash-Diyat dan Ta’zir
No
|
Bentuk-Bentuk
Jarimah
|
||
Hudud
|
Qishash-Diyat
|
Ta’zir
|
|
1
|
Tidak adanya pemaafan.
|
Adanya pemaafan dari korban atau pihak keluarga
korban.
|
Adanya pemaafan dari ulil amri, apabila
hal itu lebih baik.
|
2
|
Hukuman telah ditentukan oleh syara’ (fixed
punishment)
|
Hukuman telah ditentukan oleh syara’ (fixed
punishment)
|
Hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat
bagi si pelaku sesuai kondisi dan tindak kejahatan.
|
3
|
Pembuktian harus ada saksi dan pengakuan
yang benar dan akurat.
|
Pembuktian harus ada saksi dan pengakuan
yang benar dan akurat.
|
Pembuktiannya sangat luas kemungkinannya.
|
4
|
Tidak dapat dikenakan kepada anak kecil, karena
si pelaku harus sudah baligh.
|
Tidak dapat dikenakan kepada anak kecil,
karena si pelaku harus sudah baligh.
|
Dapat dikenakan kepada anak kecil, karena ta’zir
dilakukan untuk mendidik.
|
5
|
Ukuran kadar hukuman telah ditetapkan secara
pasti oleh syari’at.
|
Ukuran kadar hukuman telah ditetapkan secara
pasti oleh syari’at.
|
Kadar ketentuan diserahkan kepada ijtihad
hakim dan ulama’ dan berat ringannya disesuaikan menurut pelanggarannya.
|
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Jinayat artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau
jahat. Jadi jinayat adalah semua perbuatan yang diharamkan, perbuatan
atau tindakan yang dicegah atau dilarang oleh Syara’ dan apabila dilakukan
perbuatan semacam itu akan membahayakan agama, jiwa, akal, harta, dan lainya. Pada
dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk, jelek, atau
dosa, sehingga makna kata dari jarimah sekilas hampir sama dengan arti jinayat. Kedua istilah ini
secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua
istilah itu berbeda dalam penerapannya. Walaupun pengertian antara jinayat
dengan jarimah sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari, namun
keduanya dapat dibedakan. Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa,
bentuk, macam, atau sifat dari perbuatan tersebut, misalnya, pencurian,
pembunuhan, pemerkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan
sebagainya. Semua itu disebut dengan perbuatan jarimah, adapun dalam
pemakaian kata jinayat lebih mempunyai arti lebih umum (luas), yaitu
ditunjukkan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan
manusia. Dan tidak ditunjukkan bagi satuan perbuatan dosa tertentu. Oleh karena
itu, pembahasan fiqih yang memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang
dikerjakan manusia dan hukuman yang diancamkan kepada si pelaku disebut dengan
fiqih jinayat dan bukan istilah fiqih jarimah. pada umumnya para
ulama’ membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, yaitu : jarimah
hudud, jarimah qishash-diyat dan jarimah ta’zir.
DAFTAR PUTAKA
¨ Ali, Zainuddin.
2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
¨ Hakim, Rahmat.
2000. Hukum Pidana Islam. Bandung : Pustaka Setia.
¨ Nurul Irfan, M
dan Masyrofah. 2013. Fiqih Jinayat. Jakarta : AMZAH.
¨ Wardi Muslich, Ahmad.
2004. Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayat). Jakarta :
Sinar Grafika.
[2] Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Azas Hukum Pidana Islam (Fiqih
Jinayat). (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
[3] Ibid, hlm. 1.
[7] Ahmad Wardi Mushlich. Op.Cit., hlm. 2.
[8] Rahmat Hakim. Op.Cit., hlm. 17.
[14] Ibid, hlm. 23-25.
[15] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Fiqih jinayat. (Jakarta :
AMZAH, 2013), hlm. 13-14.
[16] Rahmat Hakim. Op.Cit., hlm. 26-27.
[17] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 3.
[18] Ibid, hlm. 4.
[19] Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta : Sinar Grafika, 2007),
hlm. 10-11.
[20] Ibid, hlm. 11.
[21] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 5.
[22] Rahmat hakim. Op.Cit., hlm. 29.
[23] M. Nurul Irfan dan Masyrofah. Op.Cit., hlm. 136.
[24] Ibid, hlm.138-139.
Easy "water hack" burns 2 lbs OVERNIGHT
ReplyDeleteMore than 160 thousand women and men are using a simple and secret "water hack" to drop 1-2 lbs every night while they sleep.
It is scientific and works all the time.
Here's how to do it yourself:
1) Take a drinking glass and fill it up half glass
2) And now learn this amazing HACK
you'll be 1-2 lbs lighter the next day!