MAKALAH
JARIMAH ZINA DAN JARIMAH QADZAF
Makalah Ini Ditujukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh II (Jinayat dan Munakahat)
Oleh Dosen Pengampu bapak H. Ali As’ad, S. Sy, S.Pd.I, M.Pd.I.
Nama Kelompok :
1.
Liyanalul Maghfiroh
2.
Ahmad Khoirun Naim
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
KELAS A2 SEMESTER IV
2015/2016
Jln.Taman Siswa No 9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode
Pos 59427,Telp./Fax (0291)593132
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur
kehadirat tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan rahmat, inayah, taufik dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di gunakan sebagai salah
satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi
keguruan.
Manusia memilki
kedua kecenderungan berbuat baik dan berbuat buruk. Selain itu, manusia
memiliki kebebasan untuk memilih satu dari dua kecenderungan tersebut hingga
nantinya ia harus mempertanggung jawabkan di hadapan Allah. Di sisi lain,
manusia adalah mahluk yang lemah dalam menghadapi tarikan diantara dua
kecenderungan tersebut hingga berpeluang besar untuk berbuat salah atau dosa.
Harapan kami
semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dan dapat
memberikan manfaat bagi segenap pembaca.
Jepara, 3 Maret 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA
PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
a. Latar
Belakang............................................................................................. 1
b. Rumusan
Masalah........................................................................................ 1
c. Tujuan
Penulisan.......................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
a.
JARIMAH ZINA ....................................................................................... 2
1. Pengertian
dan Dasar Hukum Larangan Zina ....................................... 2
2. Macam-Macam
Jarimah Zina................................................................. 3
3. Pembuktian
untuk Jarimah Zina ........................................................... 6
4. Bahaya
Yang Ditimbulkan oleh Perbuatan Zina ................................... 8
b.
JARIMAH QADZAF ................................................................................ 9
1. Pengertian
Jarimah Qadzaf ................................................................... 9
2. Unsure-Unsur
Jarimah Qadzaf ............................................................ 10
3. Pembuktian
Hukuman untuk Jarimah Qadzaf..................................... 11
BAB III PENUTUP
a.
Kesimpulan ............................................................................................... 13
b.
Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah
SWT menciptakan manusia sebagai khalifahnya di muka bumi ini sehingga Dia
menganugerahkan kepada manusia sebagian dari sifat kesempurnaa-Nya. Allah SWT berkehendak menciptakan manusia yang
berstatus sebagai khalifahNya di muka bumi ini untuk hidup berkembang dalam
lingkungan yang suci, mulia, dan terhormat. Dia menciptakan manusia tidak
secara bersamaan dan tidak pula untuk selamanya, namun dalam bentuk
generasi-generasi yang hiup secara berkesinambungan satu generasi melanjutkan
tugas generasi sebelumnya dalam membangun bumi ini. Untuk mewujudkan hal itu,
manusia membutuhkan proses reproduksi dan pengembangbiakan, dalam hal itu
membutuhkan pasangan suami istri.
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat seperti ini
banyak hal yang kita temukan melanggar dari syariat islam. Mereka semua
melakukan perbuatan dosa tanpa memkirkan akibatnya. Banyak orang yang melakukan
perbuatan tersebut tanpa ada ikatan suami isti dan hanya melampiaskan nafsu
sahwat. Perbuatan ini terjadi karena lemahnya iman seseorang, kurang mengetahui
agama secara lebih mendalam, serta kurng di perhatikan oleh keluargnya.
Perbuatan tersebut paling di benci oleh Allah tetapi sering dilakukan oleh
masyarakat pada zaman sekarang.
B.
Rumusan Makalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut pemakalah merumuskan:
1.
Jarimah Zina
2.
Jarimah Qadzaf
C.
Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan memberi pengetahuan bagi penulis
maupun pembaca. Dengan makalah ini penulis dan pembaca dapat mengetahui apa
yang mereka belum ketahui sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. JARIMAH ZINA
1. Pengertian
dan Dasar Hukum Larangan Zina
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang
sama yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan dan
kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat
kepemilikan.[1]
Para ulama dalam memberikan definisi zina berbeda redaksinya, tetapi
substansinya hampir sama
1. Pendapat Abdul Qadir Audah
Zina ialah hubungan badan yang diharamkan
dan disengaja oleh pelakunya.[2]
2. Pendapat Malikiyah
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan
oleh orang mukallaf terhadap manusia (wanita) yang bukan miliknya secara
disepakati dengan kesengajaan. [3]
3. Pendapat Syafi’iyah
Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji yang diharamkan karena
zatnya tapa ada syubhat dan menuru tabi’atnya menimbulkan syahwat.
Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang mengharamkan jarimah zina ini,
yaitu sebagai berikut:
وَلاَتَقْرَبُوْا الزِّنآ.
إِنَّهُ كَانَ فحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلاً
“Dan
janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’:32).
Dalam ayat lain:
وَالَّذِيْنَ لاَ يَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ إِلهاً
آخَروَلاَ يَقْتُلُونَ النّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالحَقِّ وَ لاَ
يزْنُونَ وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang
yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak
berzina, barangsiapa melakukan iu, niscaya mendapat (pembalasan) dosa (nya).”
(QS. Al-Furqan: 68)
2. Macam-Macam Jarimah Zina dan Sanksinya
Ada
dua jenis jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina
muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda.
Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah
menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih
berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku belum pernah menikah secara sah dan tidak
sedang berada dalam ikatan pernikahan.[4]
Terdapat
kedua jenis jarimah zina diatas, syariat islam memberlakukan dua sanksi yang
berlainan. Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku
dilempari batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan
adalah dicambuk seratus kali.
v Ekstensi Sanksi Rajam
Sanksi rajam bagi pelaku
zina muhsan tisak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, tetapi
ekstensinya ditetapkan melalui ucapan dan perbuatan Rasulullah. Adapun hadis
yang menyebutkan tentang eksistensi sanksi rajam ini diantaranya sebagai
berikut:
عبد اللهِ بنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ ابْنُ
الخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلىَ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِا لْحَقِّ وَأَنْزَلَ
عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ
قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَهَا وَعَقَلْنَاهَا
فَرَجَمَ
رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى
إِنَّ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي
كِتَابِ اللهِ
فَيَضِلُّوا
بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزلهَا اللهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ حَقٌّ
عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الِّرجَالِ وَالنِّسَاءِ
إِذَا قَامَت
البَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبْلُ أَو الاِعْتِرَافُ
“Abdullah
bin Abbas meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab berada diatas mimbar Rasulullah
SAW (dan berpidato), “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW dengan membawa
kebenaran dan menurunkan Al-Quran. Di antara ayat yang diturunkan itu ada ayat
tentang rajam. Kami membacanya, mempelajarinya dan memahaminya. Aku takut jiak
telah berlalu masa yang panjang, ada orang yang berkata, ‘Kami tidak menemukan
rajam di dalam Kitabullah, lalu mereka meninggalkan kewajiban yang diturunkan
Allah. Sesungguhnya hukuman rajam itu benar di dalam Kitabullah dan
diberlakukan kepada yang telah beristri dan bersuami dari setiap laki-laki dan
perempuan. Apabila telah ada bukti yang kuat, terjadi kehamilan, atau pelaku
mengaku.” (HR Bukhari)
Jumhur ulama
sepakat bahwa walaupun di dalam Al-Quran tidak disebutkan bahwa walaupun
didalam Al-Quran tidak disebutkan tentang rajam, hukumna ini tetap diakui
eksistensinya.
v
Sanksi
Cambuk dan Pengasingan
Berbeda dengan rajam yang
tidak secara tegas disebutkan didalam Al-Quran sanksi cambuk bagi pelaku
jarimah zina ghairu muhsan secara eksplisit ditegaskan di dalam firman Allah
SWT:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْهُمَا مِأ ئَة جَلْدَةٍ
“
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera.” (QS. Al-Nur: 2)
Ayat diatas tidak
hanya menyebutkan jumlah cambukan, tetapi juga larangan belah kasih kepada
pelaku. Selain itu, proses eksekusi hendaknya disaksikan oleh kaum muslimin
agar menimbulkan efek jera dan dapat dijadikan pelajaran berharga. [5]
Adapun hadis yang
menjelaskan sanksi pengasingan sebagai pelengkap dari sanksi cambuk sebagai
berikut:
عَنْ زَيْدِ بْن خَالِدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ أَمرَ فِيْمَنْ زَنَي وَلَمْ يُحْصَنْ
بِجَلْدِ
مِائَةِ وَتَغْرِبِ عَامٍ
Dari
Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia meriwatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW memerintahkan
agar orang yang berzina ghairu muhsan dicambuk seratus kali dan diasingkan
selama satu tahun.” (HR Bukhari)
Dari hadis
tersebut dapat diketahui bahwa sanksi bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan
adalah dicambuk seratus kali dan diasingkn. Adapun mengenai waktu
pelaksanaannya para ulama berbeda pendapat, apakah sanksi cambuk seratus kali
dan pengasingan selama satu tahun harus dilakukan beriringan atau tidak.
Masalah tersebut dijelaskan oleh Al-Jaziri sebagai berikut:[6]
a) Madzab Maliki
Ulama Maliki berpendapat bahwa
seorang perjaka merdeka yang melakukan jarimah zina harus dikenai sanksi
pengasingan setelah dicambuk seratus kali. Pengasingan harus dilakukan selama
satu tahun ditempat yang jauh dari tanah airnya. Hal ini dimasukkan sebagai celaan
bagi pelaku dan menjauhkannya dari tempat berlangsungnya perzinaa.
Adapun bagi gadis yang telah
melakukan jarimah zina, sanksi pengasingan tidak berlaku. Sebab, kalau gadis
dihukum dengan pengasingan dikhawatirkan akan mengakibatkan munculnya fitnah.
b) Madzab Syafi’i dan Hambali
Kedua madzab ini berpendapat bahwa
pelaku zina ghairu muhsan yang kedua-duanya berstatus merdeka dan dewasa
diberlakukan sanksi cambuk seratus kali dan diasingkan ketempat yang jauh.
Kedua madzab ini memberlakukan pengasingan, baik terhadap perjaka maupun gadis.
Namun, bagi si gadis harus disertai mahram yang akan menemani dan mengurusinya
di tempat pengasingan.
c) Madzab Hanafi
Madzab Hanafi berpendapat bahwa hukuman
bagi pelaku zina ghairu muhsan yang berupa cambuk seratus kali dan pengasingan
tidak dapat dicampuradukan. Sebab, hukuman pengasingan sama sekali tidak
disebutkan didalam Surah An-Nur ayat 2. Madzab ini bertumpu pada pandangan Imam
Abu Hanifa yang berpendapat bahwa pengasingan termasuk ta’zir dan sangat erat
kaitannya dengan konsep kemaslahatan.
Dari
uraian diata dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konsesus Jumhur Ulama pelaku
jarimah zina ghairu muhsan harus dikenakan sanksi berupa hukuman cambuk seratus
kali dan hukuman pengasingan selama satu tahun. Hanya saja untuk jenis hukumna
pengasingan, menurut Imam Malik dan Al-Auza’i tidak diberlakukan bagi
perempuan. Sementara itu menurut Imam Syafi’i, Ahmad, dan Dawud Al-Zahiri
hukuman pengasingan tetap diberlakukan, baik perempuan maupun laki-laki.
Sementara
itu dalam KUHP Republik Indonesia, kategori zina muhsan dan ghairu muhsan tidak
dikenal. Dalam pasal 284, zina hanyalah yang pelakunya sudah terikat dengan
akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi di dalam rumah tangga dan
termasuk dalam delik aduan, sehingga di samping KUHP tidak mengenal istolah
zina ghairu muhsan, di dalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama pelaku
suami atau istri yang tetap merasakan aman dengan delik perzinaan yang
dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak dapat di tuntut karena tidak diadukan
oleh pihak yang merasa dirugikan.[7]
3. Pembuktian untuk Jarimah Zina
Pelaku jarimah
dapat dikenai hukuman had apabila perbuatnnya telah dapat di buktikan. Untuk
jarimah jina ada tiga macam pembuktian, yaitu:
a. Pembuktian dengan saksi
Para
ulama sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa di buktikan kecuali dengan empat
orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak
dapat diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi
semata-mata dan tidak ada bukti lainnya. Sebagaimana terdapat dalam Surah An
Nisa ayat 15
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)...”
(QS An-Nisa: 15)
b. Pembuktian dengan pengakuan
Pengakuan dapat
digunakan sebagai alat bukti untuk jarimah zina, dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
Ø Menurut Imam Abu Hanifah dan Imma Ahmad,
pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengiaskannya kepada
empat orang saksi dan berlasan dengan hadis Ma’iz yang menjelaskan tentang
pengakuannya sebanyak empat kali dihadapan Rasulullah SAW bahwa ia telah
melakukan perbuatn zina. Akan tetapi, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat
bahwa pengakuan itu cukup satu kali. Alasannya adalah bahwa pengakuan ini
merupakan suatu pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan
cara diulang-ulang.
Ø Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan
tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan syubhat dalam perbuatan
zina tersebut
Ø Pengakuan harus sah atau benar, dan hal
ini tidak mungkin timbul kecuali dari oarng yang berakal dan mempunyai kebebasan.
Dengan perkataan lain, orang yang memberikan pengakuan haruslah orang yang
berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak gila dan tidak dipaksa.
Ø Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa
pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Apabila dilakukan di luar
sidang pengadilan maka pengakuan tidak diterima. Sedangkan Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad tidak mensyaratkannya. Dengan demikian, menurut mereka
ini, pengakuan boleh dinyatakan di luar sidang pengadilan.
c. Pembuktan dengan qarinah
Qarinah
atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang
tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita yang
tidak bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum baligh, atau
dengan orang yang sudah baligh tetapi kandungannya lahir sebelum enam bulan.
4. Bahaya Yang Ditimbulkan oleh Perbuatan
Zina
Apa
yang kita saksikan di sekitar kita pada saat ini, berupa kekacauan dan
penyimpangan yang timbul akibat pengumbaran nafsu seksual yang dilakukan tanpa
memperhatikan aturan syariat, membuat kita semakin yakini kebenaran Al-Quran.
Terlebih lagi setelah ditemukan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh
perbuatan terkutuk itu sehingga dilanda ketakutan yang amat sangat. [8]
Bahaya
terhadap agama dan ahlak dari perbuatan zina sudah cukup jelas. Sesesorang yang
peruatan zina, pada waktu itu ia merasa gembira dan senang, sementara di pihak
lain perbuatannya itu menimbulkan kemarahan dan kutukan Tuhan, karena Tuhan
melarngnya dan menghukumnya. Di samping itu, perbuatan zina itu mengarah kepada
lepasnya keimanna dari hati pelakunya. [9]
Disamping
itu, wanita yang berzina akan kehilangan kehormatannya, rasamalunya, agamanya,
dan dimata masyarakat ia sudah jatuh tidak ada harganya lagi. Selain itu,
perbuatnnya juga menjatuhkan nama baik keluarganya yang sama sekali tidak ikut
melakukan perbuatannya.
Dampak
negatif dari perbuatn zina terhadap kesehatan jasmani adalah timbulnya penyakit
kelamin, yaitu suatu penyakit yang diawali dengan tumbuhnya gelembung-gelembung
bernanah yang menyerang kulit atau kelamin penderita. Penyakit ini merupakan
penyakit yang berbahaya dan menular. [10]Sedangkan
penyakit lain yang timbul adalah penyakit AIDS.
Oleh
karena itu, saat ini dunia mengampanyekan perilaku seksual yang terkontrol dan
hanya dengan satu pasangan. Inisiatif itu bukan didorong oleh kesadaran mereka
untuk kembali menuruti ajaran agama, namun semata karena takut terjangkiti
penyakit berbahaya yang belum ditemukan obatnya, seperti penyakit AIDS.[11]
B. JARIMAH QADZAF
1. Pengertian Jarimah Qadzaf
Secara
etimoligis, qadazf berasal dari kata قذف-يقذف-قذفا
yang
oleh Luis Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat قَذَفَ
بِقَولِهِ berarti تَكَمَّلَ
مِنْ غَيْرِ تَدَبُّرٍ وَلاَ تَأَمُّلٍ berbicara mengawur tanpa
pemikiran terlebih dahulu. Qadzaf secara bahasa
juga berarti الرمي menuduh,melempar
dengan batu atau benda-benda lain.[12]
Adapun
secara terminologi, qadzf berarti menuduh berzina. Akan tetapi, para ahli fiqh
tidak sama persis dalam merumuskan definisi. Secara singkat, deskripsinya
dikemukakan sebagai berikut: [13]
1) Menurut Al-Syarbini, qadzaf ialah menuduh
zina dengan tujuan membeberkan aib, tidak termasuk dalam kesaksian zina.
2) Menurut Syaikh Al-Nawawi, qadzaf ialah
menuduh zina dalam rangka menjelaskan tertuduh bukan dalam rangka kesaksian.
3) Menurut Abdul Audah, beliau mengatakan
bahwa dalam syariat islam qadzaf terdiri dari dua macam, yaitu qadzaf yang
pelakunya diancam dengan had dan qadzaf yang pelakunya diancan dengan ta’zir.
Qadzaf yang pelakkunya diancam dengan had adalah menuduh orang baik-baik
melakukan zina atau mengingkari nasabnya. Adapun qadzaf yang pelakunya diancam
dengan hukuman ta’zir adalah menuduh seseorang dengan tuduhan selain zina dan
tidak mengingkari nasabnya yang mana tuduhan itu ditujukan baik kepada muhsan
maupun ghairu muhsan. Termasuk dalam pengertian ini adalah mencaci dan memaki.
Terdapat dua jenis jarimah ini, pelakunya juga dikenakan sanksi takzir.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa qadzaf adalah menuduh seorang muhsan (dewasa, berakal
sehat, merdeka, beagama islam, dan orang baik-baik) melakukan zina. Kalau
penuduh ternyata tidak mendatangkan empat orang saksi maka ia dicampuk sebanyak
delapan puluh kali.
Mengenai
ini Allah berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ المٌحْصَنتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهدَةً أَبَدًا.
وَأُولئك هُمُ الفسِقُون (4) إِلاَّ الَّذِيْنَ
تَا بُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ (5)
“Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamnya. Mereka itulah orang
yang fasik, kecuali orang yang bertaubat sesudah itu, memperbaiki (dirinya), maka
sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nur: 4-5)
2. Unsur-Unsur Jarimah Qadzaf
a) Adanya tuduhan atau menghilangkan nasab
Unsur ini dapat terpenuhi apabila
pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang
menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku/penuduh) tidak mampu membuktikan apa
yang dituduhnya.
Tuduhan zina kadang-kadang
menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata seperti يا
ابن الزنا “hai
anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat
zina. Sedangkan kata-kata seperti يا
زاني “hai
pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.[14]
Dengan demikian, apabila kata-kata
atau kalimat itu tidak berisi tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya maka
pelaku (penuduh) tidak dihukum dengan hukuman had, melainkan hanya dikenai
hukuman ta’zir.
Tuduhan
yang pelakunya (penuduhnya) dikenakan hukuman hadd, harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:[15]
a. Kata-kata tuduhan harus tegas dan jelas,
yaitu tidak mengandung pengertian lain selain tuduhan zina. Apabila tuduhan itu
tidak sharih maka berarti ta’ridh atau tuduhan dengan kinayah hukumannya
dipersilisihkan oleh ulama. Menurut Imam Abu Hanifah dan saah satu riwayat dari
madzab Hambali, pelaku(penuduh) tidak dikenakan hukuman hadd, melainkan hukuman
ta’zir. Adapun menurut madzab Syafi’i, apabila dengan kinayah itu memang
diniatkan sebagai qadzaf maka penuduh dikenakan hukuman hadd. Akan tetapi,
kalau tidak ada niat qadzaf maka penuduh tidak dikenai hadd. Menurut Imam
Malik, apabila kata-kata kinayahnya bisa diartikan sebagi qadzaf, atau ada
qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa pelaku sengaja menuduh maka ia dekenai
hukuman had.
b. Orang yang dituduh harus tertentu (jelas).
c. Tuduhan harus mutlak, tidak dikaitkan
dengan syarat dan tidak disandarkan waktu tertentu.
b) Adanya niat yang melawan hukum
Unsur
melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seorang menuduh
orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu
bahwa apa yang dituduhnya tidak benar. Dan seseorang mengetahui ketidakbenaran
tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.
3. Pembuktian dan Hukuman Untuk Jarimah
Qadzaf
Jarimah qadzaf
dapat di buktikan degan tiga macam alat bukti, yaitu sebagi berikut:
a. Dengan saksi
Saksi merupakan
salah satu bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat saksi yaitu baligh,
berakal, dapat berbicara, adil, islam, dan tidak ada penghalang menjadi saksi.
b. Dengan pengakuan
c. Dengan sumpah
Menurut
Imam Syafi’i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada
saksi dan pengakuan. Caranya adalah oarang yang dituduh (korban) meminta kepada
oarng yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan.
Apabila penuduh enggan melakukan untuk bersumpah jarimah qadzaf bisa di
buktikan dengan keengganannya untuk bersumpah tersebut. Demiian sebaliknya,
penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh
benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah
maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman qadzaf. Akan
tetapi, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah.
Hukuman
untuk jarimah qadzaf ada dua macam yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera
sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman
yang sudah ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mepunyai hak untuk
memberikan pengampunan. Adapun orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat.
Menurut madzab Syafi’i, orang yang dituduh berhak memberikan pengampuna.
Sedangkan menurut madzab hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan.
b. Hukuman tambahan yaitu, tidak diterima
persaksiannya
Andaikata
orang tersebut berobat para ulam berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah,
kesaksian penuduh tetap gugur meskipun ia telah bertobat. Sedangkan menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, kesaksian penuduh diterima kembali
apabila ia bertobat.
[4] Nurul Irfan dan Masyrafah, Op.Cit, hlm 20
[5] Ibid, hlm 33
[6] Ibid, hlm 34
[7] Ibid, hlm 38
[8] Mutawalli Asy-Sya’rawi, Dosa-Dosa Besar, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2000), hlm 148
[9] Ahmad Wardi Muslich, Loc. Cit, hlm 5
[10] Ibid, hlm 5
[11] Mutawalli Asy-Sya’rawi, Op. Cit, hlm 148
[12] Nurul Irfan dan Masyrofah, Loc.Cit, hlm 41
[13] Ibid, hlm 48-49
[14] Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit, hlm 62
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang
sama yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan dan
kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat
kepemilikan.
Ada
dua jenis jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina
muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda.
Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah
menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih
berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku
belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan
pernikahan.
Secara
etimoligis, qadazf berasal dari kata قذف-يقذف-قذفا
yang
oleh Luis Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat قَذَفَ
بِقَولِهِ berarti تَكَمَّلَ
مِنْ غَيْرِ تَدَبُّرٍ وَلاَ تَأَمُّلٍ berbicara mengawur tanpa
pemikiran terlebih dahulu. Qadzaf secara bahasa
juga berarti الرمي menuduh,melempar
dengan batu atau benda-benda lain.
Qadzaf adalah menuduh
seorang muhsan (dewasa, berakal sehat, merdeka, beagama islam, dan orang
baik-baik) melakukan zina. Kalau penuduh ternyata tidak mendatangkan empat
orang saksi maka ia dicampuk sebanyak delapan puluh kali.
B.
Saran
Demikian makalah yang ditulis pemakalah. Disini
pemakalah meminta saran dan kritik untuk memperaiki penulisan makalah agar
tidak terjadi kesalah yang sama untuk kedua kalinya. Sekian pemakalah yang bisa
sampaikan dan pemakalah ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhadi,
Wahbah. 2007. Fiqh Islam. Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir
Irfan,
Nurul. Musyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta:Amzah
Wardi
Muslich, Ahmad. 2005. Hukum Pidana
Islam. Jakarta:Sinar Grafika
Asy-Sya’rawi, Mutawalli. 2000. Dosa-Dosa Besar.
Jakarta: Gema Insani Press