Thursday, January 9, 2020

MAKALAH JARIMAH ZINA DAN JARIMAH QADZAF


MAKALAH
JARIMAH ZINA DAN JARIMAH QADZAF 
Makalah Ini Ditujukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh II (Jinayat dan Munakahat)
Oleh Dosen Pengampu bapak H. Ali As’ad, S. Sy, S.Pd.I, M.Pd.I.






Nama Kelompok :
1.     Liyanalul Maghfiroh
2.     Ahmad Khoirun Naim
     
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
KELAS A2 SEMESTER IV 2015/2016
Jln.Taman Siswa No 9 Pekeng Tahunan Jepara
Kode Pos 59427,Telp./Fax (0291)593132








KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa atas segala limpahan  rahmat, inayah, taufik dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di gunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam profesi keguruan.
Manusia memilki kedua kecenderungan berbuat baik dan berbuat buruk. Selain itu, manusia memiliki kebebasan untuk memilih satu dari dua kecenderungan tersebut hingga nantinya ia harus mempertanggung jawabkan di hadapan Allah. Di sisi lain, manusia adalah mahluk yang lemah dalam menghadapi tarikan diantara dua kecenderungan tersebut hingga berpeluang besar untuk berbuat salah atau dosa.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan  dan pengalaman bagi para pembaca dan dapat memberikan manfaat bagi segenap pembaca.

Jepara, 3 Maret 2016
                                                                                                           
Penyusun





DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................................. i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
a.       Latar Belakang............................................................................................. 1
b.      Rumusan Masalah........................................................................................ 1
c.       Tujuan Penulisan.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
a.       JARIMAH ZINA ....................................................................................... 2
1.      Pengertian dan Dasar Hukum Larangan Zina ....................................... 2
2.      Macam-Macam Jarimah Zina................................................................. 3
3.      Pembuktian untuk Jarimah Zina  ........................................................... 6
4.      Bahaya Yang Ditimbulkan oleh Perbuatan Zina ................................... 8
b.      JARIMAH QADZAF ................................................................................ 9
1.      Pengertian Jarimah Qadzaf ................................................................... 9
2.      Unsure-Unsur Jarimah Qadzaf ............................................................ 10
3.      Pembuktian Hukuman untuk Jarimah Qadzaf..................................... 11
BAB III PENUTUP
a.       Kesimpulan ............................................................................................... 13
b.      Saran.......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifahnya di muka bumi ini sehingga Dia menganugerahkan kepada manusia sebagian dari sifat kesempurnaa-Nya. Allah SWT berkehendak menciptakan manusia yang berstatus sebagai khalifahNya di muka bumi ini untuk hidup berkembang dalam lingkungan yang suci, mulia, dan terhormat. Dia menciptakan manusia tidak secara bersamaan dan tidak pula untuk selamanya, namun dalam bentuk generasi-generasi yang hiup secara berkesinambungan satu generasi melanjutkan tugas generasi sebelumnya dalam membangun bumi ini. Untuk mewujudkan hal itu, manusia membutuhkan proses reproduksi dan pengembangbiakan, dalam hal itu membutuhkan pasangan suami istri.
Sedangkan dalam kehidupan masyarakat seperti ini banyak hal yang kita temukan melanggar dari syariat islam. Mereka semua melakukan perbuatan dosa tanpa memkirkan akibatnya. Banyak orang yang melakukan perbuatan tersebut tanpa ada ikatan suami isti dan hanya melampiaskan nafsu sahwat. Perbuatan ini terjadi karena lemahnya iman seseorang, kurang mengetahui agama secara lebih mendalam, serta kurng di perhatikan oleh keluargnya. Perbuatan tersebut paling di benci oleh Allah tetapi sering dilakukan oleh masyarakat pada zaman sekarang.
B.     Rumusan Makalah
Berdasarkan latar belakang tersebut pemakalah merumuskan:
1.      Jarimah Zina
2.      Jarimah Qadzaf
C.     Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan memberi pengetahuan bagi penulis maupun pembaca. Dengan makalah ini penulis dan pembaca dapat mengetahui apa yang mereka belum ketahui sebelumnya.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    JARIMAH ZINA
1.      Pengertian dan Dasar Hukum Larangan Zina
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang sama yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan dan kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.[1]
Para ulama dalam memberikan definisi zina berbeda redaksinya, tetapi substansinya hampir sama
1.      Pendapat Abdul Qadir Audah
Zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.[2]
2.      Pendapat Malikiyah
Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan. [3]
3.      Pendapat Syafi’iyah
Zina adalah memasukkan zakar kedalam farji yang diharamkan karena zatnya tapa ada syubhat dan menuru tabi’atnya menimbulkan syahwat.
Terdapat beberapa ayat Al-Quran yang mengharamkan jarimah zina ini, yaitu sebagai berikut:
وَلاَتَقْرَبُوْا الزِّنآ. إِنَّهُ كَانَ فحِشَةً وَسَآءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isra’:32).

Dalam ayat lain:
وَالَّذِيْنَ لاَ يَدْعُوْنَ مَعَ اللهِ إِلهاً آخَروَلاَ يَقْتُلُونَ النّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالحَقِّ وَ لاَ يزْنُونَ وَ مَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, barangsiapa melakukan iu, niscaya mendapat (pembalasan) dosa (nya).” (QS. Al-Furqan: 68)
2.      Macam-Macam Jarimah Zina dan Sanksinya
Ada dua jenis jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda. Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku  belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan.[4]
Terdapat kedua jenis jarimah zina diatas, syariat islam memberlakukan dua sanksi yang berlainan. Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman rajam, yaitu pelaku dilempari batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan adalah dicambuk seratus kali.
v  Ekstensi Sanksi Rajam
Sanksi rajam bagi pelaku zina muhsan tisak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, tetapi ekstensinya ditetapkan melalui ucapan dan perbuatan Rasulullah. Adapun hadis yang menyebutkan tentang eksistensi sanksi rajam ini diantaranya sebagai berikut:
عبد اللهِ بنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ قَالَ عُمَرُ ابْنُ الخَطَّابِ وَهُوَ جَالِسٌ عَلىَ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إِنَّ اللهَ قَدْ بَعَثَ مُحَمَّدًا
صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِا لْحَقِّ وَأَنْزَلَ عَلَيْهِ الْكِتَابَ فَكَانَ مِمَّا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ قَرَأْنَاهَا وَوَعَيْنَهَا وَعَقَلْنَاهَا
 فَرَجَمَ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ فَأَخْشَى إِنَّ طَالَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُولَ قَائِلٌ مَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ
 فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيْضَةٍ أَنْزلهَا اللهُ وَإِنَّ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللهِ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى إِذَا أَحْصَنَ مِنَ الِّرجَالِ وَالنِّسَاءِ
 إِذَا قَامَت البَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبْلُ أَو الاِعْتِرَافُ
“Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab berada diatas mimbar Rasulullah SAW (dan berpidato), “Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad SAW dengan membawa kebenaran dan menurunkan Al-Quran. Di antara ayat yang diturunkan itu ada ayat tentang rajam. Kami membacanya, mempelajarinya dan memahaminya. Aku takut jiak telah berlalu masa yang panjang, ada orang yang berkata, ‘Kami tidak menemukan rajam di dalam Kitabullah, lalu mereka meninggalkan kewajiban yang diturunkan Allah. Sesungguhnya hukuman rajam itu benar di dalam Kitabullah dan diberlakukan kepada yang telah beristri dan bersuami dari setiap laki-laki dan perempuan. Apabila telah ada bukti yang kuat, terjadi kehamilan, atau pelaku mengaku.” (HR Bukhari)
Jumhur ulama sepakat bahwa walaupun di dalam Al-Quran tidak disebutkan bahwa walaupun didalam Al-Quran tidak disebutkan tentang rajam, hukumna ini tetap diakui eksistensinya.
v  Sanksi Cambuk dan Pengasingan
Berbeda dengan rajam yang tidak secara tegas disebutkan didalam Al-Quran sanksi cambuk bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan secara eksplisit ditegaskan di dalam firman Allah SWT:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِأ ئَة جَلْدَةٍ
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS. Al-Nur: 2)
Ayat diatas tidak hanya menyebutkan jumlah cambukan, tetapi juga larangan belah kasih kepada pelaku. Selain itu, proses eksekusi hendaknya disaksikan oleh kaum muslimin agar menimbulkan efek jera dan dapat dijadikan pelajaran berharga. [5]
Adapun hadis yang menjelaskan sanksi pengasingan sebagai pelengkap dari sanksi cambuk sebagai berikut:
عَنْ زَيْدِ بْن خَالِدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنَّهُ  أَمرَ فِيْمَنْ زَنَي وَلَمْ يُحْصَنْ
 بِجَلْدِ مِائَةِ  وَتَغْرِبِ عَامٍ    
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani, ia meriwatkan, “Aku mendengar Rasulullah SAW memerintahkan agar orang yang berzina ghairu muhsan dicambuk seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.” (HR Bukhari)
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa sanksi bagi pelaku jarimah zina ghairu muhsan adalah dicambuk seratus kali dan diasingkn. Adapun mengenai waktu pelaksanaannya para ulama berbeda pendapat, apakah sanksi cambuk seratus kali dan pengasingan selama satu tahun harus dilakukan beriringan atau tidak. Masalah tersebut dijelaskan oleh Al-Jaziri sebagai berikut:[6]
a)      Madzab Maliki
Ulama Maliki berpendapat bahwa seorang perjaka merdeka yang melakukan jarimah zina harus dikenai sanksi pengasingan setelah dicambuk seratus kali. Pengasingan harus dilakukan selama satu tahun ditempat yang jauh dari tanah airnya. Hal ini dimasukkan sebagai celaan bagi pelaku dan menjauhkannya dari tempat berlangsungnya perzinaa.
Adapun bagi gadis yang telah melakukan jarimah zina, sanksi pengasingan tidak berlaku. Sebab, kalau gadis dihukum dengan pengasingan dikhawatirkan akan mengakibatkan munculnya fitnah.
b)     Madzab Syafi’i dan Hambali
Kedua madzab ini berpendapat bahwa pelaku zina ghairu muhsan yang kedua-duanya berstatus merdeka dan dewasa diberlakukan sanksi cambuk seratus kali dan diasingkan ketempat yang jauh. Kedua madzab ini memberlakukan pengasingan, baik terhadap perjaka maupun gadis. Namun, bagi si gadis harus disertai mahram yang akan menemani dan mengurusinya di tempat pengasingan.



c)      Madzab Hanafi
Madzab Hanafi berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan yang berupa cambuk seratus kali dan pengasingan tidak dapat dicampuradukan. Sebab, hukuman pengasingan sama sekali tidak disebutkan didalam Surah An-Nur ayat 2. Madzab ini bertumpu pada pandangan Imam Abu Hanifa yang berpendapat bahwa pengasingan termasuk ta’zir dan sangat erat kaitannya dengan konsep kemaslahatan.
Dari uraian diata dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konsesus Jumhur Ulama pelaku jarimah zina ghairu muhsan harus dikenakan sanksi berupa hukuman cambuk seratus kali dan hukuman pengasingan selama satu tahun. Hanya saja untuk jenis hukumna pengasingan, menurut Imam Malik dan Al-Auza’i tidak diberlakukan bagi perempuan. Sementara itu menurut Imam Syafi’i, Ahmad, dan Dawud Al-Zahiri hukuman pengasingan tetap diberlakukan, baik perempuan maupun laki-laki.
Sementara itu dalam KUHP Republik Indonesia, kategori zina muhsan dan ghairu muhsan tidak dikenal. Dalam pasal 284, zina hanyalah yang pelakunya sudah terikat dengan akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi di dalam rumah tangga dan termasuk dalam delik aduan, sehingga di samping KUHP tidak mengenal istolah zina ghairu muhsan, di dalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama pelaku suami atau istri yang tetap merasakan aman dengan delik perzinaan yang dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak dapat di tuntut karena tidak diadukan oleh pihak yang merasa dirugikan.[7]
3.      Pembuktian untuk Jarimah Zina
Pelaku jarimah dapat dikenai hukuman had apabila perbuatnnya telah dapat di buktikan. Untuk jarimah jina ada tiga macam pembuktian, yaitu:
a.       Pembuktian dengan saksi
Para ulama sepakat bahwa jarimah zina tidak bisa di buktikan kecuali dengan empat orang saksi. Apabila saksi itu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti lainnya. Sebagaimana terdapat dalam Surah An Nisa ayat 15
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)...” (QS An-Nisa: 15)
b.      Pembuktian dengan pengakuan
Pengakuan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk jarimah zina, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Ø  Menurut Imam Abu Hanifah dan Imma Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengiaskannya kepada empat orang saksi dan berlasan dengan hadis Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali dihadapan Rasulullah SAW bahwa ia telah melakukan perbuatn zina. Akan tetapi, Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengakuan itu cukup satu kali. Alasannya adalah bahwa pengakuan ini merupakan suatu pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan cara diulang-ulang.
Ø  Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan syubhat dalam perbuatan zina tersebut
Ø  Pengakuan harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari oarng yang berakal dan mempunyai kebebasan. Dengan perkataan lain, orang yang memberikan pengakuan haruslah orang yang berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak gila dan tidak dipaksa.
Ø  Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Apabila dilakukan di luar sidang pengadilan maka pengakuan tidak diterima. Sedangkan Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad tidak mensyaratkannya. Dengan demikian, menurut mereka ini, pengakuan boleh dinyatakan di luar sidang pengadilan.
c.       Pembuktan dengan qarinah
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah  timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Disamakan dengan wanita yang tidak bersuami, wanita yang kawin dengan anak kecil yang belum baligh, atau dengan orang yang sudah baligh tetapi kandungannya lahir sebelum enam bulan.
4.      Bahaya Yang Ditimbulkan oleh Perbuatan Zina
Apa yang kita saksikan di sekitar kita pada saat ini, berupa kekacauan dan penyimpangan yang timbul akibat pengumbaran nafsu seksual yang dilakukan tanpa memperhatikan aturan syariat, membuat kita semakin yakini kebenaran Al-Quran. Terlebih lagi setelah ditemukan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh perbuatan terkutuk itu sehingga dilanda ketakutan yang amat sangat. [8]
Bahaya terhadap agama dan ahlak dari perbuatan zina sudah cukup jelas. Sesesorang yang peruatan zina, pada waktu itu ia merasa gembira dan senang, sementara di pihak lain perbuatannya itu menimbulkan kemarahan dan kutukan Tuhan, karena Tuhan melarngnya dan menghukumnya. Di samping itu, perbuatan zina itu mengarah kepada lepasnya keimanna dari hati pelakunya. [9]
Disamping itu, wanita yang berzina akan kehilangan kehormatannya, rasamalunya, agamanya, dan dimata masyarakat ia sudah jatuh tidak ada harganya lagi. Selain itu, perbuatnnya juga menjatuhkan nama baik keluarganya yang sama sekali tidak ikut melakukan perbuatannya.
Dampak negatif dari perbuatn zina terhadap kesehatan jasmani adalah timbulnya penyakit kelamin, yaitu suatu penyakit yang diawali dengan tumbuhnya gelembung-gelembung bernanah yang menyerang kulit atau kelamin penderita. Penyakit ini merupakan penyakit yang berbahaya dan menular. [10]Sedangkan penyakit lain yang timbul adalah penyakit AIDS.
Oleh karena itu, saat ini dunia mengampanyekan perilaku seksual yang terkontrol dan hanya dengan satu pasangan. Inisiatif itu bukan didorong oleh kesadaran mereka untuk kembali menuruti ajaran agama, namun semata karena takut terjangkiti penyakit berbahaya yang belum ditemukan obatnya, seperti penyakit AIDS.[11]
B.     JARIMAH QADZAF
1.      Pengertian Jarimah Qadzaf
Secara etimoligis, qadazf berasal dari kata قذف-يقذف-قذفا  yang oleh Luis Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat قَذَفَ بِقَولِهِ  berarti تَكَمَّلَ مِنْ غَيْرِ تَدَبُّرٍ وَلاَ تَأَمُّلٍ  berbicara mengawur tanpa pemikiran terlebih dahulu. Qadzaf secara bahasa juga berarti الرمي  menuduh,melempar dengan batu atau benda-benda lain.[12]
Adapun secara terminologi, qadzf berarti menuduh berzina. Akan tetapi, para ahli fiqh tidak sama persis dalam merumuskan definisi. Secara singkat, deskripsinya dikemukakan sebagai berikut: [13]
1)      Menurut Al-Syarbini, qadzaf ialah menuduh zina dengan tujuan membeberkan aib, tidak termasuk dalam kesaksian zina.
2)      Menurut Syaikh Al-Nawawi, qadzaf ialah menuduh zina dalam rangka menjelaskan tertuduh bukan dalam rangka kesaksian.
3)      Menurut Abdul Audah, beliau mengatakan bahwa dalam syariat islam qadzaf terdiri dari dua macam, yaitu qadzaf yang pelakunya diancam dengan had dan qadzaf yang pelakunya diancan dengan ta’zir. Qadzaf yang pelakkunya diancam dengan had adalah menuduh orang baik-baik melakukan zina atau mengingkari nasabnya. Adapun qadzaf yang pelakunya diancam dengan hukuman ta’zir adalah menuduh seseorang dengan tuduhan selain zina dan tidak mengingkari nasabnya yang mana tuduhan itu ditujukan baik kepada muhsan maupun ghairu muhsan. Termasuk dalam pengertian ini adalah mencaci dan memaki. Terdapat dua jenis jarimah ini, pelakunya juga dikenakan sanksi takzir.
Jadi dapat disimpulkan bahwa qadzaf adalah menuduh seorang muhsan (dewasa, berakal sehat, merdeka, beagama islam, dan orang baik-baik) melakukan zina. Kalau penuduh ternyata tidak mendatangkan empat orang saksi maka ia dicampuk sebanyak delapan puluh kali.
Mengenai ini Allah berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ المٌحْصَنتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدآءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمنِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهدَةً أَبَدًا.
 وَأُولئك هُمُ الفسِقُون (4) إِلاَّ الَّذِيْنَ تَا بُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ (5)
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan  empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamnya. Mereka itulah orang yang fasik, kecuali orang yang bertaubat sesudah itu, memperbaiki (dirinya), maka sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Nur: 4-5)
2.      Unsur-Unsur Jarimah Qadzaf
a)      Adanya tuduhan atau menghilangkan nasab
Unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan melakukan zina atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia (pelaku/penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhnya.
Tuduhan zina kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata seperti يا ابن الزنا  “hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperti يا زاني  “hai pezina” hanya menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.[14]
Dengan demikian, apabila kata-kata atau kalimat itu tidak berisi tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya maka pelaku (penuduh) tidak dihukum dengan hukuman had, melainkan hanya dikenai hukuman ta’zir.
Tuduhan yang pelakunya (penuduhnya) dikenakan hukuman hadd, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[15]
a.       Kata-kata tuduhan harus tegas dan jelas, yaitu tidak mengandung pengertian lain selain tuduhan zina. Apabila tuduhan itu tidak sharih maka berarti ta’ridh atau tuduhan dengan kinayah hukumannya dipersilisihkan oleh ulama. Menurut Imam Abu Hanifah dan saah satu riwayat dari madzab Hambali, pelaku(penuduh) tidak dikenakan hukuman hadd, melainkan hukuman ta’zir. Adapun menurut madzab Syafi’i, apabila dengan kinayah itu memang diniatkan sebagai qadzaf maka penuduh dikenakan hukuman hadd. Akan tetapi, kalau tidak ada niat qadzaf maka penuduh tidak dikenai hadd. Menurut Imam Malik, apabila kata-kata kinayahnya bisa diartikan sebagi qadzaf, atau ada qarinah (tanda) yang menunjukkan bahwa pelaku sengaja menuduh maka ia dekenai hukuman had.
b.      Orang yang dituduh harus tertentu (jelas).
c.       Tuduhan harus mutlak, tidak dikaitkan dengan syarat dan tidak disandarkan waktu tertentu.
b)      Adanya niat yang melawan hukum
Unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seorang menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia tahu bahwa apa yang dituduhnya tidak benar. Dan seseorang mengetahui ketidakbenaran tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhannya.
3.      Pembuktian dan Hukuman Untuk Jarimah Qadzaf
Jarimah qadzaf dapat di buktikan degan tiga macam alat bukti, yaitu sebagi berikut:   
a.       Dengan saksi
Saksi merupakan salah satu bukti untuk jarimah qadzaf. Syarat-syarat saksi yaitu baligh, berakal, dapat berbicara, adil, islam, dan tidak ada penghalang menjadi saksi.
b.      Dengan pengakuan
c.       Dengan sumpah
Menurut Imam Syafi’i, jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah oarang yang dituduh (korban) meminta kepada oarng yang menuduh (pelaku) untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan melakukan untuk bersumpah jarimah qadzaf bisa di buktikan dengan keengganannya untuk bersumpah tersebut. Demiian sebaliknya, penuduh (pelaku) bisa meminta kepada orang yang dituduh (korban) bahwa penuduh benar melakukan penuduhan. Apabila orang yang dituduh enggan melakukan sumpah maka tuduhan dianggap benar dan penuduh dibebaskan dari hukuman qadzaf. Akan tetapi, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membenarkan pembuktian dengan sumpah.
            Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam yaitu sebagai berikut:
a.       Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak delapan puluh kali. Hukuman ini merupakan hukuman had, yaitu hukuman yang sudah ditetapkan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mepunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun orang yang dituduh, para ulama berbeda pendapat. Menurut madzab Syafi’i, orang yang dituduh berhak memberikan pengampuna. Sedangkan menurut madzab hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan.
b.      Hukuman tambahan yaitu, tidak diterima persaksiannya
Andaikata orang tersebut berobat para ulam berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, kesaksian penuduh tetap gugur meskipun ia telah bertobat. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, kesaksian penuduh diterima kembali apabila ia bertobat.


[1] Wahbah Az-Zuhadi, Fiqh Islam, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir), 2007, hlm 303
[2] Nurul Irfan dan Musyrofah, Fiqh Jinayah,(Jakarta:Amzah), 2013, hlm 18
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika), 2005 hlm 6-7
[4] Nurul Irfan dan Masyrafah, Op.Cit, hlm 20                                              
[5] Ibid, hlm 33
[6] Ibid, hlm 34
[7] Ibid, hlm 38
[8] Mutawalli Asy-Sya’rawi, Dosa-Dosa Besar, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm 148
[9] Ahmad Wardi Muslich, Loc. Cit, hlm 5
[10] Ibid, hlm 5
[11] Mutawalli Asy-Sya’rawi, Op. Cit, hlm 148
[12] Nurul Irfan dan Masyrofah, Loc.Cit, hlm 41
[13] Ibid, hlm 48-49
[14] Ahmad Wardi Muslich, Loc.Cit, hlm 62
[15] Ibid, hlm 63





BAB III

PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang sama yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan dan kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.
Ada dua jenis jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda. Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Adapun zina ghairu muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya, pelaku  belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan.
Secara etimoligis, qadazf berasal dari kata قذف-يقذف-قذفا  yang oleh Luis Ma’luf jika dihubungkan dengan kalimat قَذَفَ بِقَولِهِ  berarti تَكَمَّلَ مِنْ غَيْرِ تَدَبُّرٍ وَلاَ تَأَمُّلٍ  berbicara mengawur tanpa pemikiran terlebih dahulu. Qadzaf secara bahasa juga berarti الرمي  menuduh,melempar dengan batu atau benda-benda lain.
Qadzaf adalah menuduh seorang muhsan (dewasa, berakal sehat, merdeka, beagama islam, dan orang baik-baik) melakukan zina. Kalau penuduh ternyata tidak mendatangkan empat orang saksi maka ia dicampuk sebanyak delapan puluh kali.
B.     Saran
Demikian makalah yang ditulis pemakalah. Disini pemakalah meminta saran dan kritik untuk memperaiki penulisan makalah agar tidak terjadi kesalah yang sama untuk kedua kalinya. Sekian pemakalah yang bisa sampaikan dan pemakalah ucapkan terima kasih. 







DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhadi, Wahbah. 2007.  Fiqh Islam.  Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir
Irfan, Nurul.  Musyrofah. 2013.  Fiqh Jinayah. Jakarta:Amzah
Wardi Muslich, Ahmad. 2005.  Hukum Pidana Islam. Jakarta:Sinar Grafika

 Asy-Sya’rawi, Mutawalli. 2000.  Dosa-Dosa Besar. Jakarta: Gema Insani Press